JAKARTA - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan terdapat 32 perusahaan berada dalam antrean (pipeline) akan melangsungkan Initial Public Offering (IPO) di tengah volatilitas pasar saham domestik maupun global. Sampai 10 April 2025, sebanyak sebelas perusahaan telah melangsungkan IPO di pasar modal Indonesia, dengan dana dihimpun mencapai Rp5,92 triliun.
“Hingga saat ini, terdapat 32 perusahaan dalam pipeline pencatatan saham BEI,” ujar Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna, di Jakarta, Jumat (11/4).
Dari 32 perusahaan itu, Nyoman merincikan sebanyak 17 perusahaan masuk kategori beraset skala menengah antara Rp50 miliar sampai Rp250 miliar, merujuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 53/POJK.04/2017.
Kemudian, sebanyak 12 perusahaan beraset skala besar dengan aset di atas Rp250 miliar, serta sebanyak tiga perusahaan beraset skala kecil dengan aset di bawah Rp50 miliar.
Dari 32 perusahaan itu, dari sisi sektor, terdapat sebanyak tujuh perusahaan sektor barang konsumen primer, lima perusahaan sektor kesehatan, dan empat perusahaan sektor barang konsumen non primer.
Lalu, empat perusahaan sektor industri, tiga perusahaan sektor energi, tiga perusahaan sektor keuangan, dan tiga perusahaan sektor transportasi dan logistik,
Kemudian, satu perusahaan sektor teknologi. satu perusahaan sektor infrastruktur, dan satu perusahaan sektor barang baku,
Sampai periode 10 April 2025, telah diterbitkan sebanyak 37 emisi dari 27 penerbit Efek Bersifat Utang dan Sukuk (EBUS) dengan dana yang dihimpun senilai Rp50,1 triliun.
Di sisi lain, terdapat 47 emisi dari 36 penerbit EBUS yang sedang berada dalam antrean (pipeline) untuk menerbitkan emisi EBUS. Sementara itu, untuk aksi rights issue, sampai periode ini telah terdapat dua perusahaan yang telah melakukan aksi rights issue dengan total nilai Rp470 miliar.
Dalam antrean, terdapat sebanyak empat perusahaan yang akan melangsungkan aksi rights issue, yang terdiri dari dua perusahaan sektor barang baku, satu perusahaan sektor energi, serta satu perusahaan sektor kesehatan.
Buyback Tanpa RUPS
Sementara ituy, BEI mengungkapkan, sebanyak 21 perusahaan tercatat (emiten) yang antusias melaksanakan buyback (pembelian kembali) saham tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di tengah volatilitas pasar saham domestik maupun global saat ini. Sebanyak 21 emiten itu diperkirakan akan mengalokasikan anggaran senilai Rp14,97 triliun untuk hajatan tersebut.
"Hingga 9 April 2025, terdapat 21 emiten yang berencana untuk melakukan relaksasi kebijakan buyback tanpa RUPS, dengan total nilai anggaran perkiraan alokasi dana buyback sebesar Rp14,97 triliun,” ujar Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna di Jakarta, Jumat (11/4).
Dari 21 emiten itu, Ia mengungkapkan, sebanyak 15 emiten telah melangsungkan buyback tanpa RUPS dengan realisasi anggaran buyback senilai Rp429,72 miliar, atau baru sebesar 2,87% dari total perkiraan anggaran yang senilai Rp14,97 triliun.
“Terdapat 15 dari 21 emiten yang telah melakukan pelaksanaan buyback tanpa RUPS dengan nilai realisasi sebesar Rp429,72 miliar (2,87%),” ujar Nyoman.
Nyoman memastikan BEI bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terus melakukan monitoring terkait perkembangan pasar, untuk mengambil respon kebijakan yang cepat dan tepat dalam memitigasi volatilitas pasar.
“OJK dan BEI terus melakukan monitoring atas perkembangan pasar untuk mengambil respon kebijakan yang cepat dan tepat dalam memitigasi volatilitas pasar,” ujar Nyoman.
Sebelumnya, OJK bersama BEI telah menerbitkan kebijakan pelaksanaan buyback tanpa RUPS pada 17 Maret 2025 lalu, di tengah volatilitas yang terjadi di pasar saham Indonesia.
Sesuai Pasal 7 Peraturan OJK (POJK) 13/2023, dalam kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan, perusahaan terbuka dapat melakukan pembelian kembali saham (buyback) tanpa memperoleh persetujuan RUPS.
Pelaksanaan pembelian kembali saham karena kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan juga wajib memenuhi ketentuan POJK Nomor 29 Tahun 2023 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka.
Buyback Himbara
Sebelumnya, Fixed Income & Macro Strategist PT Mega Capital Indonesia Lionel Priyadi menilai aksi pembelian kembali (buyback) saham oleh perusahaan-perusahaan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) akan memberikan dampak positif bagi pasar saham Indonesia.
“RUPST Himbara membawa dampak positif dari segi buyback. Namun, investor masih wait and see terhadap potensi perubahan manajemennya,” ujar Lionel beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, respons pelaku pasar saat ini cenderung positif, namun, di sisi lain, masih perlu dinantikan efek jangka panjang terkait dengan aksi korporasi tersebut.
“Respons pelaku pasar hari ini positif, tapi tidak menjamin untuk jangka yang lebih panjang karena tekanan jual yang kuat,” ujar Lionel.
Untuk diketahui, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menyetujui rencana untuk melakukan buyback saham dengan jumlah sebesar-besarnya Rp3 triliun, sebagaimana Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada Senin (24/3).
Buyback saham akan dilakukan melalui melalui Bursa Efek maupun di luar Bursa Efek, baik secara bertahap maupun sekaligus, dan diselesaikan paling lama 12 bulan setelah tanggal RUPST.
Lalu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menyetujui rencana untuk melakukan buyback saham dengan jumlah sebesar-besarnya Rp1,17 triliun, sebagaimana RUPST pada Selasa (25/3). Buyback saham dilakukan untuk memperkuat kepercayaan investor, serta menyesuaikan diri dengan kondisi pasar, yang mana pendanaan dalam buyback berasal dari kas internal perusahaan.