JAKARTA - Peneliti pada Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada (UGM) Ronald Eberhard menyampaikan, dinamika perang tarif yang terjadi dalam perdagangan internasional saat ini, merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi negara produsen manufaktur di berbagai sektor.
Dirinya dalam webinar dampak kuota impor yang dipantau dari Jakarta, Senin (5/5) menyampaikan, perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dengan China telah membuat peta perdagangan dunia berubah. Hal ini membuat banyak investor global mencari lokasi penanaman modal baru yang dikenakan tarif rendah.
"In fact Indonesia itu sebenarnya dikenakan tarif balasannya rata-rata 32%. Itu lebih rendah dibandingkan pesaing kita yang terdekat contoh seperti Vietnam 46%. Sebenarnya ada dari konstelasi ini peluang untuk kita mengambil keuntungan dari perang dagang," katanya lagi.
Oleh karena itu, untuk memaksimalkan potensi yang ada agar Indonesia bisa menarik investasi dari relokasi, ia menyebut Pemerintah perlu melakukan negosiasi yang tak hanya berfokus kepada AS saja, melainkan turut melakukan pendekatan ke negara lain, seperti China, dan negara-negara anggota ASEAN.
"Indonesia sebagai negara emerging economy kita harus mampu melihat, memetakan peta politik dan ekonominya. Karena ketegangan dagang ini akan menciptakan pergeseran arus perdagangan, perubahan global supply chain, dan regional value chain," lanjutnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa juga menuturkan hal senada. Menurutnya, penetapan tarif tinggi yang dikenakan pemerintah Amerika Serikat untuk impor barang yang masuk ke negara itu, malah menguntungkan Indonesia. Pasalnya, tarif yang dikenakan kepada Indonesia yaitu 32%, lebih rendah dibandingkan kompetitor Indonesia di Asia seperti China, Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh.
“Trump membantu daya saing produk kita di Amerika. Kalau itu diketahui investor di pasar mereka enggak panik, malah untung. Kita akan lebih bagus lagi. Jadi, kita enggak usah takut. Kita malah untung. Kalau begitu strategi negosiasinya seperti apa? Diamkan saja. Tetapi, kita harus waspada, jangan sampai Vietnam dapat 0%. Itu utamanya. Ceteris paribus, kita untung, egggak usah takut,” ujarnya.
Hambatan Dagang
Selain itu, lanjut Ronald, di samping mengambil posisi sebagai negara basis produksi, menurutnya Indonesia juga perlu mewaspadai ancaman produk impor negara lain, dengan memperkuat hambatan dagang berupa nontariff measure/barrier.
"Salah satu dampak terbesar dari kebijakan tarif Amerika ini yang kita takutkan adalah lonjakan impor dari barang-barang yang tadi masuk ke Amerika karena tarif tinggi masuk ke negara-negara ketiga seperti Indonesia," katanya pula.
Seperti diketahui, pemerintahan Donald Trump telah mengenakan tarif hingga 245% atas barang-barang impor dari China. Sementara China membalas dengan tarif sebesar 125% terhadap produk-produk AS.
Kemudian, Trump telah memberi negara-negara lain jeda tarif selama 90 hari, karena para pemimpin negara tersebut berjanji untuk bernegosiasi dengan AS, meski China tetap menjadi pengecualian.
Sebaliknya, Beijing menaikkan tarifnya dan menerapkan langkah-langkah ekonomi lainnya sebagai wujud pernyataan untuk "berjuang sampai akhir" misalnya dengan membatasi ekspor mineral tanah jarang dan mengajukan sejumlah tuntutan kasus terhadap AS di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dana Moneter Internasional (IMF) sendiri memperkiraka,n pertumbuhan ekonomi global menjadi hanya sebesar 2,8% untuk 2025 karena perang tarif tersebut.
Peran TKDN
Terkait dengan perang dagang, Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Laksono Trisnantoro pun menyatakan, sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menjadi instrumen penting. Terutama untuk menjaga industri alat kesehatan (alkes) domestik di tengah dinamika perang tarif.
Dalam webinar dampak kuota impor yang dipantau dari Jakarta, Senin, Laksono menyampaikan, skenario perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dengan China, berpotensi menjadikan Indonesia yang memiliki pangsa pasar besar menjadi lokasi alternatif penjualan produk alkes dari negara yang terdampak tarif.
"Mungkin China akan mengalihkan pasarnya itu ke negara lain, termasuk Indonesia. Mungkin dengan dibukanya keran impor, akan seperti leluasa masuk ke Indonesia," ujar dia.
Menurutnya, penyerapan industri alkes domestik bergantung pada pasar dalam negeri, sekaligus membantu meningkatkan nilai tambah subsektor industri lainnya. Seperti halnya dari sisi hulu, industri ini memberikan nilai tambah (value added) untuk subsektor bahan baku logam, subsektor bahan baku karet/plastik, industri benang, serta subsektor bahan baku biologis.
"Alkes itu industri yang sangat kompleks, ada hulu dan ada hilirnya. Yang hulu untuk bahan baku alkes biasanya industri besar. Kalau hilir tentunya kita melihat ke rumah sakit, dipakai di faskes, rumah tangga, dan juga perorangan," katanya pula.
Oleh karena itu menurut dia, kebijakan TKDN yang saat ini sudah diterapkan untuk industri alkes domestik mesti diperkuat, dan tidak dikurangi porsinya. Selain itu pemerintah juga diharapkan melanjutkan kebijakan substitusi impor, serta memanfaatkan kebijakan tarif yang hendak diterapkan oleh AS sebesar 32% untuk produk RI sebagai momentum memperkuat industri alat kesehatan dalam negeri.
"Kegaduhan ini, bisa kita betul-betul dilihat momentum untuk perbaikan bagi industri alkes," ujarnya.
Asal tahu saja, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan, pada 2024 ekspor alat kesehatan (alkes) nasional mencapai nilai Us$273 juta (Rp4,6 triliun), dan peningkatan transaksi produk alkes dalam negeri pada e-katalog mencapai 48%.
Data Sistem Industri Nasional (SINAS) menunjukkan, saat ini sudah ada 393 perusahaan alkes yang terdaftar pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Kemudian, data rekapitulasi sertifikat TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) menunjukkan, ada 2.505 sertifikat TKDN yang terbit dan masih berlaku untuk produk alat kesehatan.