JAKARTA - Mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengingatkan ekonomi Islam tidak boleh monopoli dan banyak berspekulasi, di mana dua konsep tersebut bertentangan dengan esensinya.
"Ekonomi Islam itu sesuai zamannya. Jadi jangan kita merasa, ekonomi Islam harus kembali pada abad keenam hingga abad ke-13 masa itu," kata JK mengutip Antara, Jumat (16/5).
JK menyampaikan itu dalam sambutan pada acara Muktamar ke-5 Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), di Jakarta, Kamis (15/5) malam.
Dalam kesempatan itu juga, JK memaparkan bahwa untuk menerapkan sistem ekonomi Islam harus memahami esensi dan prinsip yang ada. Baginya, esensi ekonomi Islam adalah untuk kesejahteraan, kebahagiaan, adil, dan terbuka.
"Dari esensi itu muncul perilaku, yaitu tidak boleh monopoli, tidak boleh spekulasi, harus jujur, terbuka, dan bersaing sehat. Jadi tidak boleh menipu dalam ekonomi Islam," kata Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini pula.
Dari pemaparan itu, kata JK lagi, ia berkesimpulan bahwa ekonomi Islam itu mudah.
"Tapi jangan dimudah-mudahkan. Kalau pun ada anggapan berat, jangan juga diberat-beratkan. Kita laksanakan saja hal-hal yang tidak dilarang," ujarnya lagi.
Ia mencontohkan persoalan riba yang selalu diperdebatkan. JK berpendapat, riba memiliki esensi jika terjadi transaksi pinjam-meminjam yang membuat peminjam terzalimi.
Contohnya, ketika harus membayar dengan bunga yang tinggi sehingga tidak mampu.
"Misalnya kalau bunganya sampai 20% atau di atas itu, itu sudah memberatkan dan menzalimi. Tapi misalnya di KUR itu bunganya di 6% atau 7%, itu saya kira tidak memberatkan," kata dia.
Lagipula, ujar dia melanjutkan, tidak ada ekonomi yang berjalan jika bunga terlalu tinggi.
Lebih jauh JK mengingatkan bahwa ekonomi Islam berkaitan dengan muamalah yang merupakan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ekonomi Islam berada di antara prinsip ekonomi kapitalisme dan ekonomi sosialisme.
"Ekonomi Islam mengambil kebaikan kapitalisme dan sosialisme, sehingga mendukung perdagangan yang adil, jujur, tidak monopoli, dan tidak ada praktek spekulasi," ujar JK lagi.
Ekonomi Islam di Indonesia juga sering dikaitkan dengan dominasi mayoritas karena Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, dengan lebih dari 225 juta penduduknya adalah Muslim. Hal ini memberikan potensi besar bagi perkembangan ekonomi Islam, terutama dalam sektor keuangan syariah dan industri halal.
Namun, meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dominasi ekonomi oleh kelompok Muslim tidak selalu terlihat dalam struktur ekonomi nasional.
Berdasarkan data Forbes tahun 2023, hanya 12% pengusaha Muslim yang masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia, sementara 84% konglomerat berasal dari keturunan Tionghoa.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ekonomi Islam memiliki potensi besar, faktor lain seperti jaringan bisnis, kebijakan ekonomi, dan sejarah ekonomi Indonesia juga berperan dalam distribusi kekayaan.