Search

Logo Light

Keluar dari Periskop?

Sign Out Cancel

LaNyalla Dukung Usul Tarif Cukai Golongan III SKM Industri Rokok Skala Kecil

SURABAYA - Gagasan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) tentang penerbitan cukai Golongan III untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) industri rokok murah, demi menekan peredaran rokok ilegal mendapat dukungan Anggota DPD RI/MPR RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Timur ini mendukung gagasan tentang perlunya tarif cukai Golongan III untuk SKM yang khusus diberikan kepada industri rokok skala kecil, dengan kuota jumlah produksi per tahun yang lebih kecil dari Golongan II.

"Karena beban industri rokok bukan hanya belanja pita cukai, tetapi juga PPN dari penjualan rokok dari produsen maupun distributor. Selain itu masih ada juga pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah provinsi, dan PPh yang dibayar setiap tahun atas keuntungan perusahaan rokok," kata LaNyalla di Surabaya, Selasa (1/7/2025).

Di sisi lain, LaNyalla menilai terjadinya penurunan daya beli masyarakat kelas menengah dan bawah, yang juga menimpa perokok telah mengubah pola konsumsi konsumen, dari rokok mahal ke rokok murah.

"Terbentuknya segmen konsumen rokok murah ini kemudian menjadi pasar tersendiri bagi industri hasil tembakau untuk melayani. Persoalannya adalah tuntutan harga jual murah ke konsumen tidak berbanding dengan biaya produksi, cukai, pajak dan PPN. Akibatnya muncul rokok ilegal tanpa cukai," beber Ketua DPD RI ke-5 itu.

Tarif cukai Golongan III SKM industri rokok skala kecil, kata LaNyalla, bisa menjadi solusi jembatan antara adanya demand di pasar dan penekanan peredaran rokok ilegal. Sebab, sambungnya, rokok ilegal ini selain merugikan dari sisi penerimaan negara, juga bisa menjadi ladang praktik korupsi dan kolusi oknum tertentu dengan menjadikan sumber penerimaan gelap dan juga pemerasan kepada pelaku industri dan penjual.

“Hal ini menghasilkan budaya yang tidak sehat di masyarakat. Karena mendidik masyarakat kita menjadi penyelundup dan penyuap,” ucapnya.

LaNyalla tak menampik jika persoalan yang melingkupi industri hasil tembakau memang kompleks, terutama banyaknya sektor yang terlibat. Di mana satu dengan lainnya memiliki agenda yang berbeda. Terutama sektor kesehatan, yang didukung kampanye global untuk menurunkan jumlah perokok di dunia, termasuk Indonesia.

Sementara dari sisi para pelaku, industri hasil tembakau atau pabrik rokok tercatat menyerap sekitar 5,9 juta tenaga kerja di Indonesia. Sedangkan di sektor perkebunan, tercacat sekitar 2,3 juta petani yang terlibat dalam budidaya tembakau di Indonesia. Di sisi lain, cukai rokok masih menjadi sumber penerimaan negara yang cukup tinggi, yang tercatat sebesar Rp216 triliun lebih pada tahun 2023.

"Karena itu, mengelola persoalan dan isu seputar industri hasil tembakau dan perkebunan tembakau ini harus dilakukan dengan bijaksana. Harus ada keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan kesehatan. Untuk itu, pemerintah harus melibatkan semua pihak terkait dalam proses pengambilan keputusan," imbau LaNyalla.

Langkah Kongkrit
Sebelumnya, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) berharap adanya kebijakan dan langkah yang tegas dan konkrit dari pemerintah untuk melindungi usaha tembakau nasional. Khususnya, dari berbagai hambatan yang dialami saat ini baik dari luar maupun dalam.

Salah satu masalah utama yang dihadapi industri kretek nasional menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTI Agus Parmuji dalam keterangannya di Jakarta, Senin (23/6) yakni maraknya peredaran rokok ilegal.

"Produk-produk rokok yang tidak tercatat atau tidak berkontribusi terhadap penerimaan negara semakin membanjiri tanah air, ini akan mengganggu produksi rokok legal," serunya.

Mengutip data Kementerian Keuangan, ia menyebutkan, dugaan pelanggaran rokok ilegal sepanjang tahun 2024 ditemukan, rokok polos (tanpa pita cukai) menempati posisi teratas sebesar 95,44 persen.

Di sisi lain tambahnya, kebijakan tarif cukai yang eksesif akan berdampak langsung pada volume produksi batang rokok. Kemudian, lesunya daya beli rokok legal yang akhirnya dihentikannya pembelian tembakau petani oleh beberapa pabrik rokok besar dan menengah.APTI mengharapkan pemerintah dan DPR tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) mendatang, tujuannya agar industri kretek nasional legal bisa pulih. Terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal dan produsennya, apalagi selama ini pungutan negara terhadap industri kretek sudah mencapai 70 - 82 persen pada setiap batang rokok legal.

Agus juga menyoroti keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024, khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 – 463 yang dinilai semakin mengancam kelangsungan industri kretek.

"Kita memerlukan deregulasi. Pemerintah perlu meninjau ulang atau sinkronisasi peraturan satu dengan lainnya sehingga memberikan rasa keadilan demi cita-cita kemandirian ekonomi nasional," serunya.

Selain itu polemik kemasan polos (plain packaging) sebagai duplikasi dari Framework Convention on Tobacco Control(FCTC) juga mengganggu jutaan petani tembakau. Sementara kebijakan peralihan ke kemasan polos dapat memperburuk kontraksi industri kretek nasional yang sudah menghadapi tekanan ekonomi berat

Agus Parmuji yang juga Ketua Forum Pertembakauan Temanggung itu memprediksi, ketika tidak ada kajian ulang tentang kebijakan pertembakauan nasional dan tidak ada perlindungan terhadap industri kretek nasional, industri kretek besar dan menengah akan tumbang. Sementara negara akan mengalami kerugian sangat besar.

Oleh karena itu, tambahnya, jutaan petani tembakau, petani cengkeh, dan buruh rokok legal sangat berharap pada Presiden Prabowo Subianto dan Dirjen Bea Cukai Letjen Djaka Budi Utama untuk melindungi mereka. Termasuk industri kretek legal nasional yang selama ini menjadi bantalan ekonomi penerimaan negara dari cukai dan pajak.

"Kami berharap pemerintah berkomitmen merumuskan kebijakan cukai hasil tembakau secara moderat, deliberatif dan berkeadilan demi melindungi ekosistem pertembakauan nasional," ujar Agus Parmuji.

 

Ikuti Periskop Di
Reporter : Joko Priyono
Penulis : Tiamo Braudmen
Editor : Eka Budiman
faisal_rachman
faisal_rachman
Penulis
No biography available.