JAKARTA - Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Annals of Family Medicine mengungkap bahwa Indeks Massa Tubuh (BMI), yang selama ini menjadi standar untuk menilai obesitas dan risiko kesehatan, ternyata tidak akurat dalam memprediksi risiko kematian dari semua penyebab.
Sebaliknya, ukuran komposisi tubuh seperti persentase lemak tubuh dinilai jauh lebih tepat dalam mengukur risiko tersebut. Temuan ini menimbulkan pertanyaan besar terkait keandalan BMI sebagai tolok ukur utama dalam pengambilan keputusan medis dan kebijakan kesehatan.
Mengutip Live Science, peneliti utama studi ini, Dr. Frank Orlando dari UF Health Family Medicine, menyatakan bahwa definisi obesitas perlu direvisi agar didasarkan pada kadar lemak tubuh, bukan hanya berat badan dan tinggi badan.
Hal ini sangat penting mengingat banyak pasien yang sebenarnya memiliki kadar lemak tinggi tetapi tidak terdeteksi oleh sistem karena BMI-nya tergolong normal, sehingga tidak memenuhi syarat untuk pengobatan anti-obesitas seperti Ozempic dan Wegovy.
BMI masih digunakan secara luas karena mudah dihitung dan murah, tetapi metode ini terlalu menyederhanakan realitas biologis tubuh manusia. BMI sendiri tidak memperhitungkan distribusi lemak, massa otot, maupun keragaman genetik dan etnis, sehingga menimbulkan potensi kesalahan klasifikasi—terutama pada individu yang berotot atau berasal dari populasi non-kulit putih.
Dalam studi yang melibatkan lebih dari 4.200 orang dewasa Amerika berusia 20 hingga 49 tahun, para peneliti membandingkan keakuratan BMI dengan dua pengukuran lain, yaitu persentase lemak tubuh dan lingkar pinggang. Mereka menggunakan data jangka panjang selama 15 tahun untuk melihat keterkaitannya dengan tingkat kematian peserta penelitian.
Hasilnya menunjukkan bahwa individu dengan persentase lemak tubuh tinggi—lebih dari 27% untuk pria dan 44% untuk wanita—memiliki kemungkinan meninggal 78% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki kadar lemak tubuh rendah. Sebaliknya, lingkar pinggang hanya berkorelasi dengan risiko kematian akibat penyakit jantung, bukan dari semua penyebab.
Untuk mengukur persentase lemak tubuh, studi ini menggunakan metode analisis impedansi bioelektrik (BIA), yaitu teknik yang mengalirkan arus listrik rendah ke tubuh untuk memperkirakan komposisi jaringan berdasarkan perbedaan konduktivitas listrik antara lemak dan otot.
Meskipun tidak sempurna, metode ini dianggap cukup akurat dan kini semakin terjangkau secara komersial, termasuk dalam bentuk timbangan pintar yang bisa digunakan di rumah.
Meskipun demikian, para ahli tetap menggarisbawahi bahwa bukan hanya jumlah lemak yang penting, tetapi juga lokasinya. Lemak yang tersimpan di sekitar organ (lemak visceral) dianggap jauh lebih berbahaya dibandingkan lemak subkutan yang berada di bawah kulit.
Dari sudut pandang kebijakan, temuan ini menegaskan perlunya revisi dalam penetapan kriteria pengobatan anti-obesitas. Jika tetap hanya menggunakan BMI, maka banyak individu yang sebenarnya berada dalam kondisi risiko tinggi tetap tidak mendapatkan akses pengobatan yang dibutuhkan.
Dengan munculnya bukti ilmiah ini, ada urgensi bagi lembaga kesehatan dan regulator untuk memperbarui pedoman terkait obesitas, mengadopsi ukuran yang lebih akurat dan adil demi mendukung keputusan klinis yang lebih tepat sasaran. Sebab pada akhirnya, pendekatan yang lebih presisi bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa.
Sedang Hangat
BMI Dianggap Tak Akurat, Peneliti Sarankan Alternatif Lain untuk Ukur Lemak

Baca Juga
Reporter
:
Joko Priyono
Penulis
:
Tiamo Braudmen
Editor
:
Eka Budiman

rendi_widodo
Penulis
No biography available.
Topik Terkait