periskop.id - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menegaskan bahwa Indonesia memerlukan pendekatan baru untuk menjawab tantangan dunia kerja yang semakin kompleks. Menurutnya, sekadar meniru praktik terbaik dari negara lain tidak lagi memadai.

“Indonesia harus melahirkan next practices yang memadukan praktik terbaik global dengan kearifan lokal bangsa,” ujar Yassierli dikutip dari Antara, Rabu (3/9).

Ia menyebut ada sejumlah isu mendesak yang harus segera diatasi, salah satunya memperkuat keterkaitan (link and match) antara pendidikan, pelatihan, dan kebutuhan dunia kerja. 

“Ini adalah amanat konstitusi. Setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak,” tegasnya.

Selain itu, Yassierli menyoroti persoalan klasik ketenagakerjaan yang masih sering muncul, mulai dari upah yang tidak dibayar, diskriminasi, hingga pesangon yang tidak dipenuhi. Tantangan baru juga hadir dari pekerja platform di era digital yang membutuhkan kepastian perlindungan. 

“Semua ini menegaskan pentingnya hubungan industrial yang sehat serta regulasi yang adaptif terhadap perkembangan zaman,” katanya.

Menaker juga menekankan perlunya mengubah paradigma lama yang memandang pekerja sebagai beban (liability). Menurutnya, pekerja harus dilihat sebagai talenta dan aset bangsa, terutama di tengah perubahan besar akibat disrupsi teknologi, kecerdasan buatan, transisi hijau, serta pergeseran dominasi angkatan kerja ke generasi milenial dan Z. 

“Generasi muda bekerja tidak hanya untuk mencari penghasilan, tapi juga makna. Survei menunjukkan 24 persen di antaranya rela meninggalkan pekerjaan jika tidak menemukan purpose,” ujarnya.

Untuk itu, ia menilai masa depan ketenagakerjaan menuntut transformasi yang berpusat pada manusia (people-centered transformation). Organisasi, kata Yassierli, perlu memberi ruang bagi generasi muda untuk berinovasi, mengubah budaya kontrol menjadi kolaborasi, serta membangun sistem kerja yang fleksibel dan bermakna.

Ia menambahkan, kompetensi masa depan tidak hanya bertumpu pada keterampilan teknis, tetapi juga pada learning agility, emotional intelligence, dan design thinking. Ketiga kemampuan ini diyakini menjadi bekal penting untuk menghadapi perubahan yang cepat.

“Birokrasi memang berbeda dengan korporasi. Tetapi jika birokrasi mampu agile dan people-centered, dampaknya akan luar biasa bagi bangsa,” tutup Yassierli.