JAKARTA – Penggeledahan rumah Ketua DPD RI ke-V Periode 2019–2024 La Nyalla Mattalitti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Surabaya, terus memantik perhatian sejumlah kalangan. Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho meminta KPK memberikan penjelasan terbuka kepada publik, demi menghindari munculnya persepsi negatif, terutama terkait dugaan politisasi penegakan hukum.
“Sebagai bagian dari masyarakat sipil, kita mendukung penuh langkah KPK dalam memberantas korupsi. Tapi penggeledahan terhadap tokoh publik sekaliber La Nyalla perlu dilakukan secara proporsional dan transparan agar tidak memunculkan tafsir liar,” ujar Hardjuno di Jakarta, Kamis (17/4).
KPK sebelumnya mengonfirmasi telah melakukan penggeledahan di rumah La Nyalla pada Selasa (15/4), terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dana hibah Pemprov Jawa Timur. Meski belum menyatakan keterlibatan langsung La Nyalla dalam kasus tersebut, KPK menyatakan kemungkinan akan memanggil yang bersangkutan untuk pendalaman.
Merespons hal itu, La Nyalla menyatakan keterkejutannya atas penggeledahan tersebut. Ia mengaku tidak mengetahui adanya sangkut-paut dirinya dalam perkara yang dimaksud. Bahkan, ia mempertanyakan dasar penggeledahan yang dilakukan di rumah pribadinya.
Hardjuno pun menilai langkah penegakan hukum semacam ini harus dijalankan dengan hati-hati, mengingat posisi La Nyalla sebagai figur nasional yang dikenal vokal dalam berbagai isu demokrasi, keadilan sosial, dan pemberantasan korupsi itu sendiri.
"Bahkan ternyata dalam penggeledahan kan tidak ditemukan apa-apa terkait kasus. Dokumen berita acara penggeledahan yang diperoleh menyatakan, tidak ditemukan barang, dokumen, atau apapun yang diduga terkait perkara dimaksud," kata Hardjuno.
La Nyalla Mattalitti, kata Hardjuno, dikenal sebagai tokoh nasional yang konsisten mendorong reformasi hukum dan demokrasi konstitusional. Salah satu agenda utama yang ia perjuangkan adalah gerakan kembali ke UUD 1945 naskah asli, sebelum amandemen.
Menurut La Nyalla sendiri, amandemen UUD yang dilakukan pasca-reformasi telah membuka celah dominasi kekuatan uang dan politik transaksional, yang melemahkan prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam berbagai kesempatan, La Nyalla menegaskan, sistem presidensial hasil amandemen telah berubah menjadi sistem parlementer semu, di mana oligarki partai menguasai proses politik dan hukum. Ia juga menyoroti hilangnya peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara serta peran rakyat dalam menentukan arah bangsa.
Oleh karena itu, menurutnya, kembali ke UUD 1945 naskah asli bukan bentuk kemunduran, melainkan upaya menyelamatkan demokrasi dari cengkeraman kekuasaan modal.
Menurut Hardjuno, dengan segudang pengalamannya di pentas politik nasional, La Nyalla adalah sosok yang sangat peka terhadap bahaya penyalahgunaan hukum. Ia juga konsisten membela hak-hak masyarakat kecil, seperti petani dan nelayan, yang selama ini kurang mendapat akses keadilan.
“Jika penegakan hukum ini dilakukan murni berdasarkan data dan proses hukum yang sah, maka akan memperkuat kepercayaan publik kepada KPK," serunya.
Namun, jika dilakukan tanpa penjelasan, akan berpotensi menimbulkan preseden buruk. "Bahkan publik bisa menduga-duga bahwa La Nyalla menjadi sasaran karena keberaniannya, sikap vokalnya di ruang publik selama ini mengusik kepentingan oligarki bisnis dan politik," tandas Hardjuno.
Hardjuno menambahkan, ketokohan La Nyalla dalam memperjuangkan peran daerah lewat DPD RI, membela kelompok rentan, serta sikapnya yang konsisten mengkritisi mahar politik, merupakan modal demokrasi yang harus dilindungi—bukan dicurigai secara serampangan.
“Saya berharap bisa terus yakin bahwa KPK profesional. Karenanya publik juga berhak tahu apa dasar penggeledahan itu. Prinsip keadilan harus dijaga, tidak hanya dalam putusan, tapi juga sejak proses awal,” tegasnya.
Menanti Kejelasan
Hingga kini, KPK belum menjelaskan secara rinci temuan dari penggeledahan tersebut maupun status La Nyalla dalam kasus tersebut. Publik pun menanti kejelasan untuk memastikan bahwa semangat pemberantasan korupsi tetap berjalan dalam kerangka demokrasi yang sehat dan adil.
Sejauh ini, KPK baru menyatakan, penggeledahan rumah LaNyalla Mahmud Mattalitti berkaitan dengan posisi dirinya saat menjabat di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jawa Timur.
“Kaitannya saat yang bersangkutan di KONI, di mana KONI salah satu yang mendapatkan hibah dimaksud,” ujar Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto saat mengutip Antara.
LaNyalla diketahui sempat menjabat sebagai Wakil Ketua KONI Jatim. Lebih lanjut Fitroh menjelaskan, hibah yang dimaksud tersebut terkait dengan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
“Iya betul, terkait penyidikan dana hibah jatim,” ujarnya.
KPK pada 12 Juli 2024, mengumumkan telah menetapkan 21 orang tersangka dalam pengembangan penyidikan kasus tersebut. Dari 21 orang tersangka tersebut, empat orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan 17 orang lainnya sebagai tersangka pemberi suap.
Selanjutnya, dari empat tersangka penerima suap, tiga orang merupakan penyelenggara negara, sedangkan satu orang lainnya merupakan staf dari penyelenggara negara. Untuk 17 orang tersangka pemberi suap, sebanyak 15 orang di antaranya adalah pihak swasta dan dua orang lainnya merupakan penyelenggara negara.