JAKARTA - Literasi dan inklusi keuangan menjadi dua aspek penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Literasi keuangan merujuk pada pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan, sedangkan inklusi keuangan sangat berkaitan dengan akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal.
Bicara Indonesia, meskipun peningkatan pada dua aspek ini terjadi secara gradual, sayangnya masih terdapat kesenjangan (gap) yang signifikan antara literasi dan inklusi keuangan di Tanah Air.
Merujuk Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan Indonesia mencapai 66,46%, meningkat dari 65,43% pada tahun sebelumnya. Di sisi lain, indeks inklusi keuangan naik lebih signifikan menjadi 80,51% dari 75,02% pada 2024.
Dengan literasi 66,46% dan inklusi keuangan 80,51%, ada kesenjangan 14,05% yang dianggap masih cukup besar antara pemahaman dan akses keuangan masyarakat.
Salah satu tantangan utama dalam literasi keuangan di Indonesia adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap produk keuangan yang mereka gunakan. Banyak individu memiliki akun keuangan tetapi tidak memahami manfaat dan risiko yang terkait dengan produk tersebut. Hal ini berpotensi meningkatkan risiko keuangan bagi masyarakat.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain di Asia Tenggara, Indonesia bisa terlihat masih luar biasa tertinggal dalam hal literasi keuangan. Khususnya jika merujuk pada negara-negara yang cukup kuat di region ini.
Data terakhir dari Global Financial Index 2024 menunjukkan bahwa Thailand memiliki indeks literasi keuangan di level 82% dengan inklusi hingga 88%, lalu ada Malaysia yang lebih kuat dengan indeks literasi keuangan di 85% dan inklusi mencapai 90%.
Singapura yang selalu berputar di liga 10 negara dengan indeks literasi dan inklusi keuangan tertinggi di dunia pun memiliki indeks literasi keuangan mencapai 98% dengan inklusi di 95%.
Singapura sendiri menjadi salah satu negara yang pemerintahnya berinvestasi besar-besaran pada edukasi keuangan melalui program pemerintah, inisiatif swasta, hingga kurikulum sekolah. Di negara ini, aksesibilitas keuangan benar-benar menyentuh hampir semua rakyatnya.
Kesenjangan literasi dan inklusi keuangan yang masih dimiliki Indonesia bersumber pada kurangnya edukasi keuangan sejak dini, keterbatasan akses ke layanan keuangan, khususnya di daerah terpencil, serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi keuangan.
Selain itu, digitalisasi keuangan yang berkembang pesat di Tanah Air pun tak serta merta mendorong peningkatan aksesibillitas karena pada akhirnya fondasi edukasinya tak pernah berjalan beriringan.
Dari sisi pemerintah, berbagai program edukasi keuangan secara aktif terus dijalankan oleh institusi dan lembaga keuangan untuk mendorong angka literasi ini. Salah satunya dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) lewat “LPS Putih Abu-Abu Financial Festival 2025” sebagai program edukasi finansial yang menyasar 1.300 pelajar SMA/SMK sederajat untuk menumbuhkan literasi dan meningkatkan inklusi keuangan mereka sejak dini.
"Ini kita ingin mengedukasi berbagai elemen yang ada di pasar modal dan pasar keuangan ke generasi yang katanya sekarang banyak bermain di pasar modal, yang mana sebagian besar bahkan belum benar-benar paham pasar modal sendiri itu apa. Jadi melalui festival ini kita ingin secara menyeluruh memberikan pemahaman ke generasi muda ini mulai dari LPS, investasi, pasar modal dan lain sebagainya itu apa," ungkap Purbaya dalam sesi tanya jawab dengan wartawan, Sabtu (31/5).
Sektor teknologi finansial (fintech) turut memainkan peran penting dalam meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Beberapa perusahaan pinjaman daring secara konstan melaksanakan program kampanye beraroma edukasi keuangan bagi mahasiswa dan pelaku usaha kecil.
Masyarakat di daerah tertinggal memiliki kontribusi signifikan terhadap tantangan dalam peningkatan literasi dan inklusi keuangan nasional. Sekitar 23% provinsi di Indonesia masih membutuhkan perhatian khusus untuk mencapai target inklusi keuangan nasional.
Kesenjangan akses keuangan di wilayah terpencil umumnya disebabkan oleh minimnya akses terhadap layanan perbankan dan keuangan formal. Infrastruktur keuangan, seperti bank dan ATM, sering kali tidak tersedia. Bergeser pada pilihan layanan keuangan digital pun jauh dari kata "solutif", karena banyaknya masyarakat yang belum memiliki akses internet memadai di daerah-daerah tertinggal.
Target pemerintah untuk peningkatan indeks inklusi keuangan pun terasa cukup ambisius, di mana Indonesia mengeker inklusi keuangan bisa mencapai 98% pada 2045, dengan target jangka menengah sebesar 93% pada 2029.
Terasa ambisius mungkin, namun bukanlah sesuatu yang mustahil jika terget ini dikawal dengan strategi komprehensif dan eksekusi program yang efektif. Dengan edukasi yang lebih baik dan akses yang lebih luas pada layanan keuangan, Indonesia dapat mencapai indeks literasi dan inklusi keuangan yang lebih kuat. Setidaknya untuk di ASEAN.