SUMEDANG - Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyebutkan, penulisan ulang sejarah Indonesia hingga saat ini mencapai 70%, sedangkan setelah proses selesai akan dilakukan diskusi publik sebagai bentuk transparansi.
"Kalau tidak salah saya dapat laporan sekarang ini sudah sekitar 70% gitu ya dan nanti kalau sudah waktunya kita tentu akan menyelenggarakan diskusi publik," ujar dia usai memberi materi retret kepala daerah gelombang II di Kampus IPDN Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (24/6).
Ia menyatakan, penulisan ulang sejarah ini melibatkan para sejarawan dan arkeolog dengan bidang keahlian masing-masing.
"Para sejarawan dan arkeolog yang terlibat di dalamnya itu adalah 113 doktor, profesor, guru besar dari 34 perguruan tinggi," serunya.
Menurutnya, penulisan sejarah ini mencakup sejarah Indonesia dari awal masa pratulisan atau sebelum abad keempat, hingga era sebelum pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
"Tentu saja sejarah ini bukan sejarah yang secara spesifik bicara tentang misalnya periode-periode tertentu, tapi secara keseluruhan dari mulai era sejarah awal. Kemudian periode-periode kolonialisme sampai pemerintahan-pemerintah dari Presiden Soekarno, sampai pelantikan Presiden Prabowo," ujarnya.
Terkait era pratulisan Indonesia, katanya, memang ada perbedaan pendapat dari terminologi, di mana satu pendapat sejarah dimulai ketika tulisan ada. Sedangkan lainnya berpendapat sejarah Indonesia dimulai jauh sebelum abad keempat, dengan banyak temuan monumen dan berbagai barang untuk kebutuhan penunjang kehidupan.
Ia menyatakan pendapat para ahli terakhir ini yang saat ini tengah dilibatkan untuk menggarap penulisan ulang sejarah.
"Para penulis kita menganggap kita dari zaman 1,8 juta tahun yang lalu sudah ada sejarah. Orang sudah membuat kapak batu, membuat bola-bola batu, membuat busur, membuat segala macam jadi sudah ada budaya, sudah ada sejarah. Jadi itu perbedaan yang mungkin ada," kata dia.
Kehadiran Fadli di IPDN sendiri, untuk memberikan materi kepada para kepala daerah yang tengah mengikuti retret gelombang II. Dalam paparan, dia menekankan untuk dilakukan penyamaan visi, misi, program dari Kementerian Kebudayaan dengan daerah. Hal ini masuk dalam upaya menjalankan pemajuan kebudayaan secara maksimal, akseleratif, sesuai dengan amanat dari konstitusi guna memajukan kebudayaan Indonesia di tengah peradaban dunia.
"Dan tentu saja ini harus ada kerja sama antara pemerintah di pusat, di daerah, dan juga semua sektor, dan juga para pelaku pegawai kebudayaan. Saya sampaikan juga bagaimana kebudayaan bisa menjadi fondasi dan juga aset national treasure kita," cetusnya.
Perspektif Korban
Sebelumnya, aktivis perempuan Eva Sundari menilai, penulisan ulang sejarah dinilai mengabaikan perspektif korban, terutama perempuan, dan lebih menonjolkan narasi pelaku. Sehingga dikhawatirkan mengandung kekeliruan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
“Penulisan sejarah ini kok perspektifnya perspektif pelaku, bukan perspektif korban; dan perempuan ini selalu menjadi objek, tidak pernah jadi subjek,” ujarnya dalam diskusi yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia, sebagaimana keterangan diterima di Jakarta, baru-baru ini.
Pancasila, imbuhnya, sejatinya telah menekankan prinsip kesetaraan, inklusivitas, dan gotong royong. Namun, Eva memandang, dalam penulisan ulang sejarah yang diprakarsai Kementerian Kebudayaan, justru terjadi pengabaian terhadap kelompok perempuan sebagai korban.
“Kalau perempuan itu dinafikan, artinya ada kesalahan epistemik yang fatal,” tuturnya.
Oleh sebab itu, Eva memberi masukan kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk memahami tugasnya dalam memulihkan martabat kebangsaan. Ia juga meminta agar negara tidak melakukan impunitas terhadap budaya maupun sejarah.
“Menteri Kebudayaan itu harus mengembalikan martabat bangsa, dan di dalam bangsa itu ada perempuan korban. Bukan malah membungkam, menghindari, dan menghilangkan,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, sejarawan Andi Achdian juga mengutarakan kritik serupa. Ia mengkhawatirkan sejarah yang ditulis menjadi upaya pembersihan sesuatu hal dari catatan peristiwa masa lalu bangsa.
Andi pun menilai proyek penulisan ulang sejarah ini sebagai upaya yang terburu-buru, belum berpijak pada kesadaran etis, dan cenderung hanya berlandaskan teknikalitas. “Kalau mau menulis sejarah nasional, harus ada kesepakatan moral dan etis yang luas,” serunya.
Menurut dia, sejarah nasional tidak bisa ditulis hanya berdasarkan pengumpulan data teknis, apalagi dengan mengabaikan peristiwa traumatis seperti kekerasan terhadap perempuan. Untuk itu, negara diingatkan agar jangan sampai membangun narasi yang dapat melukai korban.
‘Tubuh perempuan selalu menjadi target dalam setiap krisis politik. Apakah ini hanya akan ditulis sebagai ekses? Itu sangat membahayakan. Kalau kekerasan terhadap perempuan ditulis sebagai ekses kerusuhan saja, itu membunuh korban untuk kedua kalinya,” ujarnya.