Search

Logo Light

Keluar dari Periskop?

Sign Out Cancel
Sedang Hangat

Breaking News

Pakar Hukum: KPK Terkesan Memaksakan Bidik LaNyalla

JAKARTA - Pakar Hukum Universitas Indonesia Chudry Sitompul menilai rangkaian penyidikan perkara yang menjerat pimpinan dan anggota DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2019-2024 yang dilakukan KPK, terkesan dipaksakan untuk ikut menjerat Ketua DPD RI ke-5 AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Penilaian Chudry tersebut didasarkan kepada upaya dan narasi yang dibangun Komisi Anti Rasuah tersebut yang dimuat di beberapa media nasional. Dalam pemberitaan, ia melihat seolah LaNyalla adalah pihak yang patut diduga terlibat dan bertanggungjawab dalam perkara penerimaan dana hibah yang dalam penggunaanya menyimpang.

“Yang pertama ingin saya tegaskan, dasar hukum pengusutan perkara tindak pidana korupsi ini adalah pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Provinsi Jatim tahun 2019-2022, yang berasal dari rekomendasi anggota DPRD Jatim. Kemudian ternyata ditemukan adanya penyimpangan dalam prosesnya, yaitu pemotongan dan cash back kepada pimpinan dan anggota DPRD Jatim,” jelas Chudry, dikutip Jumat (18/4).

Menurut Chudry perkara tersebut diawali dengan operasi tangkap tangan kepada Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak pada pertengahan Desember 2022 lalu. Lalu, dikembangkan dengan menyisir pokmas penerima hibah atas rekomendasi anggota dewan provinsi Jatim, di mana KPK kemudian menetapkan pimpinan DPRD Jatim dan anggota lainnya sebagai tersangka. Termasuk Ketua DPRD Jatim saat itu, Kusnadi.

Kedua, kata Chudry, yang juga penting untuk menjadi catatan, penggeledahan ke kediaman LaNyalla di Surabaya didasarkan atas Surat Perintah Penyidikan, yaitu Sprindik nomor 96/DIK/00/01/07/2024 tanggal 5 Juli 2024, yang merupakan Sprindik untuk tersangka saudara Kusnadi. “Artinya, KPK menduga hasil tindak pidana korupsi saudara Kusnadi disimpan atau terdapat di kediaman LaNyalla. Atau LaNyalla adalah salah satu pokmas penerima hibah atas rekomendasi saudara Kusnadi,” urainya.

Hal itu, sambung Chudry, sangat menjadi pertanyaan. Karena LaNyalla tidak ada hubungan apapun dengan Kusnadi. LaNyalla juga bukan pokmas yang menerima hibah atas rekomendasi Kusnadi atau anggota DPRD Jatim lainnya. Sehingga wajar jika kemudian penyidik KPK tidak menemukan apapun dari kediaman LaNyalla.

“Lalu, yang terbaru, KPK mengatakan rumah LaNyalla digeledah karena pernah menjadi Wakil Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jawa Timur periode 2010-2019. Ini menurut saya menjadi pertanyaan juga. Karena perkara ini payung besarnya, dilihat dari Laporan Kejadian Tindak Pidana (LKTP) dan Sprindik perkara ini adalah penggunaan APBD dalam pengurusan dana hibah untuk pokmas tahun 2019-2022, terutama dengan tersangka saudara Kusnadi,” ucapnya.

Ucok, panggilan akrab Chudry juga menjelaskan, penerima hibah APBD selalu menandatangani NPHD atau Naskah Perjanjian Hibah Daerah, dimana organisasi seperti KONI Daerah, KPUD, Panwaslu dan lainnya di daerah, selalu di tandatangani oleh Ketua. Bukan Wakil Ketua.

“Jadi kalaupun KONI Jatim itu juga menerima hibah daerah dari Pemerintah Provinsi melalui Dispora, yang mempertanggungjawabkan itu ketua. Bukan wakil ketua. Karena yang tanda tangan NPHD itu ketua. Ini due process of law. Yang harus ditegakkan secara adil, sehingga menghindari kesewenang-wenangan institusi penegak hukum terhadap masyarakat,” tukas ahli hukum pidana itu.

Oleh karena itu, tambahnya, dalam KUHAP, salah satunya due process, adalah setiap orang harus terjamin hak terhadap dirinya, kediaman, serta terhindar dari surat-surat pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan, dan juga hak mendapat perlindungan dan pemeriksaan yang sama dalam hukum.

Penjelasan Terbuka
Penggeledahan rumah Ketua DPD RI ke-V Periode 2019–2024 La Nyalla Mattalitti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Surabaya, memang terus memantik perhatian sejumlah kalangan. Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho meminta KPK memberikan penjelasan terbuka kepada publik, demi menghindari munculnya persepsi negatif, terutama terkait dugaan politisasi penegakan hukum. 

“Sebagai bagian dari masyarakat sipil, kita mendukung penuh langkah KPK dalam memberantas korupsi. Tapi penggeledahan terhadap tokoh publik sekaliber La Nyalla perlu dilakukan secara proporsional dan transparan agar tidak memunculkan tafsir liar,” ujar Hardjuno di Jakarta, Kamis (17/4).

KPK sebelumnya mengonfirmasi telah melakukan penggeledahan di rumah La Nyalla pada Selasa (15/4), terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dana hibah Pemprov Jawa Timur. Meski belum menyatakan keterlibatan langsung La Nyalla dalam kasus tersebut, KPK menyatakan kemungkinan akan memanggil yang bersangkutan untuk pendalaman.

Merespons hal itu, La Nyalla menyatakan keterkejutannya atas penggeledahan tersebut. Ia mengaku tidak mengetahui adanya sangkut-paut dirinya dalam perkara yang dimaksud. Bahkan, ia mempertanyakan dasar penggeledahan yang dilakukan di rumah pribadinya.

Hardjuno pun menilai langkah penegakan hukum semacam ini harus dijalankan dengan hati-hati, mengingat posisi La Nyalla sebagai figur nasional yang dikenal vokal dalam berbagai isu demokrasi, keadilan sosial, dan pemberantasan korupsi itu sendiri.

"Bahkan ternyata dalam penggeledahan kan tidak ditemukan apa-apa terkait kasus. Dokumen berita acara penggeledahan yang diperoleh menyatakan, tidak ditemukan barang, dokumen, atau apapun yang diduga terkait perkara dimaksud," kata Hardjuno.

Sejauh ini, KPK baru menyatakan, penggeledahan rumah LaNyalla Mahmud Mattalitti berkaitan dengan posisi dirinya saat menjabat di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jawa Timur.

“Kaitannya saat yang bersangkutan di KONI, di mana KONI salah satu yang mendapatkan hibah dimaksud,” ujar Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto saat mengutip Antara.

LaNyalla diketahui sempat menjabat sebagai Wakil Ketua KONI Jatim. Lebih lanjut Fitroh menjelaskan, hibah yang dimaksud tersebut terkait dengan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

“Iya betul, terkait penyidikan dana hibah jatim,” ujarnya.

KPK pada 12 Juli 2024, mengumumkan telah menetapkan 21 orang tersangka dalam pengembangan penyidikan kasus tersebut. Dari 21 orang tersangka tersebut, empat orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan 17 orang lainnya sebagai tersangka pemberi suap.

Selanjutnya, dari empat tersangka penerima suap, tiga orang merupakan penyelenggara negara, sedangkan satu orang lainnya merupakan staf dari penyelenggara negara. Untuk 17 orang tersangka pemberi suap, sebanyak 15 orang di antaranya adalah pihak swasta dan dua orang lainnya merupakan penyelenggara negara.

 

 

Ikuti Periskop Di
Reporter : Joko Priyono
Penulis : Tiamo Braudmen
Editor : Eka Budiman
faisal_rachman
faisal_rachman
Penulis
No biography available.
Topik Terkait
Komentar (2)
1000 karakter tersisa
Avatar
Haji Yunus
3 Jam Yang Lalu
Siaaaaaaaaap

Avatar
Margono
7 Jam Yang Lalu
Anggota boleh bawa senjata, asalkan