Search

Logo Light

Keluar dari Periskop?

Sign Out Cancel

SNLIK 2024, Literasi Keuangan Belum Sentuh Produk Berisiko

Hai, Scopers! Pernah enggak sih kamu merasa bingung dalam mengatur keuangan pribadi? Atau mungkin, kamu termasuk yang percaya diri karena sudah punya strategi finansial yang matang? Nah, lewat artikel ini, kita bakal ngobrolin soal literasi keuangan masyarakat Indonesia berdasarkan temuan dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Secara umum, literasi dan inklusi keuangan itu ibarat dua sayap yang menopang kesejahteraan ekonomi, baik di level individu maupun nasional. Kalau seseorang punya pengetahuan finansial yang mumpuni, besar kemungkinan dia bakal lebih bijak dalam ambil keputusan keuangan, alias enggak gampang terjebak dalam jeratan utang atau gaya hidup yang boros.

Dalam skala global, dua hal ini juga diyakini bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, memperkecil jurang kesenjangan, bahkan bantu menekan angka kemiskinan. Makanya, penting banget untuk tahu sejauh mana tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat kita.

Nah, dalam tulisan ini, kita fokus membahas satu sisi saja—yaitu literasi keuangan. OJK sendiri mengukur tingkat literasi ini dari lima aspek penting yang menggambarkan seseorang dengan label “well literate”, yakni pengetahuan, keterampilan, keyakinan, sikap, dan perilaku. Dari kelima aspek itu, ada tiga yang paling menarik untuk dikulik lebih jauh, yaitu keterampilan, keyakinan, dan perilaku.

Keterampilan yang Akrab dengan Pinjaman, Asing dengan Investasi

Scopers, hasil SNLIK 2024 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia ternyata paling jago soal urusan pinjam-meminjam. Misalnya saja, pemahaman tentang bunga, bagi hasil, margin, cicilan, hingga denda tergolong cukup tinggi. Rinciannya, sebanyak 71,25% responden paham soal bunga/bagi hasil/margin, 77,86% paham soal angsuran, dan 64,06% paham soal denda.

Tapi begitu masuk ke ranah yang lebih jangka panjang—seperti hasil investasi, biaya layanan produk keuangan, dan inflasi—tingkat pemahamannya langsung menurun drastis. Yang paham soal hasil investasi cuma 38,35%, lalu soal biaya layanan hanya 46,39%, dan yang mengerti soal inflasi bahkan lebih rendah lagi, yakni 38,80%.

Apa artinya? Ya, masyarakat kita lebih familiar sama produk keuangan yang konsumtif dan jangka pendek. Kredit, cicilan, dan pinjaman seolah sudah jadi bagian dari gaya hidup, sementara investasi dan perencanaan keuangan jangka panjang belum sepenuhnya jadi prioritas.

Ini jadi PR besar buat OJK dan pelaku industri keuangan. Oleh karenanya, edukasi keuangan harus ditingkatkan, terutama yang berkaitan dengan risiko, inflasi, dan investasi. Jangan sampai masyarakat cuma jago pinjam, tapi enggak tahu cara mengelola dan menumbuhkan uangnya.

Keyakinan yang Nanggung

Kita lanjut ke aspek keyakinan. Ternyata, 63,56% responden mengaku punya tingkat kepercayaan sedang dalam mengelola keuangannya. Yang benar-benar yakin cuma 21,46%, dan yang sangat yakin malah cuma 2,82%. Sebaliknya, yang merasa nggak yakin ada 11,22%, dan yang sangat nggak yakin sekitar 0,94%.

Artinya, sebagian besar masyarakat masih merasa "nanggung" soal kemampuannya dalam mengatur uang. Mungkin tahu dasar-dasarnya, tapi belum cukup pede buat ambil keputusan yang lebih strategis. Di sinilah pentingnya edukasi keuangan yang enggak cuma mengajarkan teori, tapi juga membangun rasa percaya diri.

Perilaku Main Aman, Hindari Risiko

Bagaimana dengan perilaku finansial? Nah, ini yang paling menarik. Dari data SNLIK, mayoritas responden lebih suka cara-cara yang konservatif dan aman untuk mencapai tujuan keuangannya. Tiga strategi paling populer adalah menabung dengan angka 70,75%. Kemudian, strategi dengan bekerja/mencari pekerjaan sebesar 62,74% dan mengurangi pengeluaran sebesar 56,50%.

Sedangkan strategi yang mengandung risiko, seperti membuka usaha mandiri hanya menunjukkan angka sebesar 44,71%, investasi 14,88%, atau menambah plafon pinjaman hanya sebesar 2,66%.

Scopers, ini menunjukkan bahwa banyak orang masih takut ambil risiko, meskipun sebenarnya langkah seperti investasi atau usaha bisa memberikan potensi keuntungan jangka panjang. Mereka lebih nyaman di zona aman. “Asal cash flow stabil, urusan nanti belakangan” begitulah kemungkinan yang ada di benak sebagian besar orang.

Kalau disimpulkan, sebagian besar masyarakat kita masih bermain di ranah keuangan yang aman dan defensif. Mereka jago urusan pinjaman, cukup percaya diri untuk mengatur uang sehari-hari, tapi belum siap mengambil langkah yang butuh keberanian lebih, seperti berinvestasi atau memulai usaha.

Oleh karena itu, penting banget ada upaya edukatif yang lebih menyeluruh. Bukan cuma mengajarkan cara nabung atau mengitung bunga, tapi juga mengenalkan masyarakat pada strategi keuangan jangka panjang yang produktif. Harapannya, Scopers semua bisa naik kelas, dari pengguna pasif produk keuangan, jadi pengelola keuangan yang cerdas, berani, dan berorientasi masa depan.

Yuk, mulai dari sekarang, kita ubah mindset dan siapkan diri jadi pribadi yang melek finansial.

 

Referensi

World Bank. (2025). Financial Inclusion Overview. Diambil kembali dari https://www.worldbank.org/en/topic/financialinclusion/overview?utm_source=chatgpt.com

OJK dan BPS. (2024). Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2024. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan.

Ikuti Periskop Di
Reporter : Joko Priyono
Penulis : Tiamo Braudmen
Editor : Eka Budiman
No biography available.
Komentar (2)
1000 karakter tersisa
Avatar
Haji Yunus
3 Jam Yang Lalu
Siaaaaaaaaap

Avatar
Margono
7 Jam Yang Lalu
Anggota boleh bawa senjata, asalkan