periskop.id - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Sugiat Santoso menyoroti tiga isu krusial yang perlu ditegaskan dalam proses pemantauan dan peninjauan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Tiga persoalan utama yang dikemukakan Sugiat meliputi kesejahteraan guru swasta, efektivitas tata kelola institusi, dan perlindungan profesi guru dari risiko kriminalisasi.
"Ada tiga isu krusial yang ingin saya tambahkan dan perlu kita tegaskan dan konsistenkan untuk menuntaskan persoalan ini,” ujar Sugiat di kawasan Senayan, Jakarta, dikutip Kamis (20/11).
Terkait kesejahteraan guru, Sugiat menilai masih terdapat kesenjangan signifikan antara guru negeri dan guru swasta. Guru negeri memperoleh gaji pokok yang lebih stabil, sementara guru swasta seringkali belum mendapatkan perlindungan serupa.
Ia mencontohkan, di daerah pemilihannya (Sumatera Utara III) masih ada guru swasta yang hanya menerima gaji Rp600 ribu untuk enam bulan mengajar. Kondisi serupa juga dialami oleh para dosen, bukan hanya guru saja.
Sugiat menekankan bahwa revisi UU Nomor 14 Tahun 2005 perlu menghadirkan skema konkret untuk menjamin standar pengupahan yang adil bagi guru dan dosen swasta. Tujuannya agar mereka tidak lagi bergantung pada kebijakan sepihak dari sekolah atau yayasan.
"Kalau buruh punya standar upah minimum, kenapa guru tidak? Harus ada gaji minimum nasional, provinsi, atau daerah bagi guru swasta,” tegasnya.
Isu kedua yang diangkat Sugiat terkait ketimpangan tata kelola institusi pendidikan antara Kemenag dan Kemendikdasmen. Ia menekankan bahwa saat ini Kemenag memiliki struktur birokrasi yang tersusun rapi dan berjenjang hingga tingkat paling bawah. Mulai dari kantor wilayah hingga satuan pendidikan ibtidaiyah, Kemenag memiliki otoritas penuh terhadap guru-guru di bawahnya.
Sebaliknya, Kemendikdasmen tidak memiliki otoritas langsung atas guru SD, SMP, dan SMA. Guru-guru di jenjang tersebut berada di bawah kewenangan pemerintah daerah, di mana SD–SMP berada di kabupaten/kota dan SMA berada di tingkat provinsi.
"Proses pengelolaan guru pada praktiknya lebih tunduk pada kepala daerah ketimbang kementerian. Ia menilai kondisi ini menimbulkan persoalan struktural, terutama ketika dinamika politik lokal berpengaruh pada kebijakan pendidikan di daerah," jelasnya.
"Kalau desentralisasi, guru hanya tunduk pada kepala daerah. Nuansa politiknya besar. Kalau pemenang pilkadanya satu kubu mungkin lanjut, tapi kalau tidak satu kubu ya selesai barang itu,” tambah Sugiat.
Oleh karena itu, Sugiat mendorong agar revisi UU Guru dan Dosen mencakup evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola pendidikan. Beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan antara lain melanjutkan sistem desentralisasi dengan perbaikan signifikan, atau mengadopsi model sentralistik seperti Kemenag. Misalnya, dengan membentuk kantor wilayah atau kantor pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang berada langsung di bawah Kemendikbudristek.
Menurut Sugiat, langkah reformasi ini krusial untuk memastikan efektivitas pencapaian tujuan konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia menegaskan pentingnya jaminan perlindungan hukum bagi guru selama menjalankan tugasnya di sekolah. Perlindungan profesi seharusnya diatur secara eksplisit dalam undang-undang, agar kasus-kasus kriminalisasi guru yang kerap muncul di lapangan tidak terus berulang.
"Tidak boleh ada kriminalisasi, tidak boleh ujuk-ujuk orang tua mempidanakan di undang-undang. Ini juga seharusnya ditetapkan sehingga tidak terjadi lagi apa yang menjadi keresahan kita bersama-sama melihat fakta yang ada di lapangan," tutup Sugiat.
Tinggalkan Komentar
Komentar