JAKARTA – Pemerintah mengaku akan mengandalkan proses negosiasi menyikapi ancaman tarif ekstra 10% yang dilontarkan Presiden AS Donad Trump kepada negara-negara pendukung BRICS. Negosiasi sendiri dikatakan pemerintah masih berlangsung dengan pemerintahan AS.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengatakan, hingga saat ini pihaknya masih memantau perkembangan situasi tersebut, mengingat proses negosiasi tarif dagang dengan AS masih terus berlangsung.
"Ya, kita akan terus mengikuti (perkembangan) saja, karena Indonesia masih dalam proses pembicaraan dengan Pemerintah Amerika Serikat," ujar Sri Mulyani usai Rapat Kerja Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (7/7).
Senada, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan, masyarakat harus mempercayakan proses negosiasi tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) ke para tim negosiator yang dikirim oleh pemerintah.
"Percayakan saja ke para negosiator kita yang sekarang sedang ada di Amerika Serikat," kata Menperin Agus ditemui di Jakarta, Senin.
Menurut Menperin, para negosiator tarif yang ditugaskan di AS memiliki target resiprokal yang paling bagus bagi Indonesia. Dirinya juga meyakini Indonesia merupakan negara yang cukup penting bagi AS untuk pemajuan ekonomi.
"Kita tunggu aja. Dan saya kira juga pemerintah Amerika pada saatnya nanti dia bisa lebih fleksibel, lebih dinamis terhadap kepentingan Indonesia. Karena juga Indonesia merupakan negara yang cukup penting bagi Amerika, baik itu untuk geokonomi, untuk ekonomi, untuk perdagangan, dan lain sebagainya," katanya.
Meski demikian, menurut Menperin pengenaan tarif tambahan tersebut akan berdampak ke Indonesia, namun hal tersebut turut memberikan dampak serupa ke AS.
Ketidakpastian Global
Sementara itu, Kepada DPR, Sri Mulyani memang mengaku, dinamika ekonomi global saat ini sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian global, termasuk kebijakan tarif resiprokal yang diusung Trump. Hal tersebut menjadi pertimbangan dalam penyusunan asumsi dasar Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) untuk RAPBN 2026.
Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa pemerintah akan menyusun RAPBN 2026 secara hati-hati dan mempertimbangkan baik faktor domestik maupun situasi global.
"Kita sedang melihat, hari ini Bapak Presiden (Prabowo) berada di pertemuan BRICS dengan para pemimpin dunia, dan kemudian Presiden AS Donald Trump menyampaikan pernyataan bahwa kelompok BRICS dianggap tidak mendukung AS sehingga mengancam akan mengenakan tambahan tarif," jelas Sri Mulyani.
Sebelumnya, Trump mengunggah pernyataan di platform Truth Social pada Minggu (6/7), yang mengancam akan mengenakan tarif ekstra 10 % kepada negara-negara yang mendukung apa yang disebutnya sebagai "kebijakan anti-Amerika" dari kelompok BRICS.
"Tidak akan ada pengecualian untuk kebijakan ini," tulis Trump.
Pernyataan itu muncul saat para pemimpin BRICS bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tahunan di Rio de Janeiro, Brasil. Dalam unggahan terpisah, Trump juga menyebut, surat pemberitahuan tarif atau kesepakatan dagang dengan berbagai negara akan mulai dikirimkan pada Senin (7/7) pukul 12.00 waktu Washington (23.00 WIB).
Trump sebelumnya juga mengkritik rencana BRICS untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Ia menyatakan, tidak ada kemungkinan BRICS bisa menggantikan dolar dalam perdagangan internasional.
"Jika mereka tetap melakukannya, mereka akan dikenakan tarif 100 %," ujar Trump.
Wacana dedolarisasi memang semakin menguat dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak AS menjatuhkan sanksi terhadap Rusia pasca-invasi ke Ukraina pada 2022.