Periskop.id –Kasus Skandal Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) kembali mengemuka. Belakangan, Anggota DPR RI dari Fraksi PKB mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas dugaan skandal BLBI–BCA, setelah ekonom Sasmito Hadinegoro menyebut penjualan 51% saham Bank Central Asia (BCA) pada awal 2000-an bermasalah dan merugikan negara.
Menanggapi hal itu, pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho menilai, pernyataan DPR sangat relevan untuk mengingatkan kembali publik terhadap kasus lama yang belum tuntas.
“Momentum ini penting. Jangan sampai bangsa ini terus dibebani skandal masa lalu yang tidak pernah selesai. Saya mendukung statement dari Fraksi PKB mengenai skandal BLBI-BCA harus diungkap” kata Hardjuno dalam keterangannya yang diterima, Senin (18/8).
Prinsip Tata Kelola
Hardjuno menjelaskan, penjualan saham BCA kepada pihak swasta pada 2002 seharusnya dilakukan dengan mengedepankan prinsip good corporate governance. Namun, seperti disorot oleh Sasmito, transaksi tersebut tidak memenuhi standar tata kelola yang sehat.
“Nilai jual hanya sekitar Rp5 triliun, padahal BCA punya aset Rp117 triliun dan memegang Obligasi Rekap senilai Rp60 triliun. Angka ini tidak sebanding dengan valuasi sebenarnya. Dari kacamata hukum dan tata kelola, patut diduga ada persoalan serius,” ujarnya.
Lebih jauh, Hardjuno mengingatkan, sebagai mantan staf ahli Panitia Khusus (Pansus) BLBI DPD RI, ia pernah menemukan catatan, BCA bisa diduga masih memiliki kewajiban terkait BLBI sebesar Rp26,596 triliun. “Ini bukan angka kecil. Sampai hari ini, publik perlu tahu apakah kewajiban itu sudah benar-benar dilunasi atau tidak,” serunya.
Menurutnya, masalah BLBI tidak bisa dipandang selesai hanya dengan pembentukan Satgas. “Transparansi harus jelas, akuntabilitas harus ditegakkan. Kalau tidak, rakyat yang akan terus menanggung bebannya,” tegas Hardjuno yang kini kandidat doktor Hukum Pembangunan Universitas Airlangga tersebut.
Beban Panjang Negara
Selain itu, Hardjuno juga menyoroti keberadaan Obligasi Rekap (OR) yang pernah dimiliki BCA. Obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan pasca-krisis itu yang menimbulkan beban bunga besar.
“Negara telah membayar bunga rata-rata Rp7 triliun per tahun hingga 2009, dengan total mencapai Rp60,8 triliun. Itu artinya, APBN kita tersedot untuk menutup kebijakan masa lalu, sementara kewajiban pihak swasta belum selesai,” ujarnya.
Hardjuno menambahkan, pidato Presiden Prabowo Subianto pada 16 Agustus 2025 di Sidang Tahunan MPR memberikan sinyal tegas agar negara tidak kalah dari konglomerat nakal.
“Presiden menegaskan tidak ada yang kebal hukum. Itu selaras dengan semangat Hari Kemerdekaan: bangsa ini harus merdeka dari beban skandal ekonomi yang menghantui sejak masa lalu,” tegasnya.
Hardjuno pun menegaskan, kombinasi desakan DPR, kajian akademisi, serta komitmen Presiden harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata. “Kalau negara sungguh-sungguh ingin merdeka secara ekonomi, maka kasus BLBI–BCA ini harus dituntaskan. Jangan sampai sejarah mencatat kita gagal menegakkan keadilan,” ujarnya.
Tim Khusus
Sebelumnya, Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinegoro mendorong Presiden Prabowo Subianto menyelamatkan uang negara yang terkait megaskandal BLBI. Termasuk mengambil alih 51% saham BCA yang proses divestasinya kala itu dianggap merugikan keuangan negara
Menurut Sasmito, Presiden Prabowo perlu segera membentuk tim khusus untuk membongkar dugaan mafia keuangan di balik skandal raksasa yang menggerogoti uang rakyat hingga triliunan rupiah.
"Angin kencang beberapa kali telah kita tiupkan untuk mengusut kembali kasus BLBI-BCA. Pemerintah punya hak untuk mengambil kembali 51 % saham BCA, tanpa harus bayar," kata Sasmito dalam keterangannya, Rabu (13/8).
Sasmito menduga, ada rekayasa dalam akuisisi 51% saham BCA oleh Djarum Grup, kerajaan bisnis milik Budi Hartono di era Megawati. "Pada waktu itu, pada Desember 2002, nilai sahamnya (BCA) Rp117 triliun. Dalam buku, BCA mempunyai utang ke negara Rp60 triliun, diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya," sebut Sasmito.
Ketika Jokowi masih berkuasa, kata Sasmito, sempat dibentuk tim berdasarkan keppres untu menyelesaikan masalah tersebut. Langkah Jokowi itu, seharusnya dilanjutkan Presiden Prabowo, sehingga seluruh dugaan permainan dalam megaskandal BLBI bisa dibongkar tuntas.
"Kenapa tim keppres pemeriksaan BLBI BCA tidak diteruskan? Pemberian obligasi yang sampai sekarang masih jalan per triwulan. Angkanya besar sekali. Mungkin saat ini sudah mencapai Rp1.500 triliunan. Ini kok luput dari perhatian," imbuhnya.
Kemudian Sasmito menceritakan pernah dikonfrontasi dengan pihak BCA oleh Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, pada 4 September 2018.
"Saat itu, saya dipanggil KSP, Pak Moeldoko untuk dikonfrontir dengan Direktur BCA. Saya jelaskan semuanya. Mereka (BCA) tak bisa membantah. Kita tidak mempermasalahkan BCA-nya, karena sudah berjalan. Tapi, jika kasus ini diusut tuntas, maka aset senilai Rp700 triliun bisa masuk ke Danantara Indonesia," beber Sasmito.
Jika Presiden Prabowo enggan menuntaskan masalah ini, Sasmito berani pasang badan untuk menanganinya. Apalagi, lanjutnya, saat ini, keuangan negara sedang seret. Jadi, kata Sasmito, perlu ide yang out of the box untuk menyelesaikannya.
"Tinggal membuat satgas pemberantasan mafia keuangan negara saja. Jika dipercaya, saya bersedia menjadi Ketua Tim Satgas Pemberantasan Mafia Keuangan Negara. Demi kepentingan NKRI," tegas pria kelahiran Kediri, Jawa Timur (Jatim) itu.
Tinggalkan Komentar
Komentar