periskop.id - Menteri Agama Nasaruddin Umar menilai pemberitaan media mengenai kasus kejahatan seksual di pesantren terlalu dilebih-lebihkan. Ia menyebut bahwa jumlah kasus yang sebenarnya tidak sebesar yang digambarkan.
“Adanya kejahatan seksual di pondok pesantren yang dibesar-besarkan oleh media, padahal itu hanya sedikit jumlahnya,” ujar Nasaruddin dalam keterangannya di Jakarta pada (14/10).
Menurutnya, sorotan berlebihan ini telah menjadi momok yang membebani citra pesantren di Indonesia. Meski demikian, sejumlah kasus tetap menjadi tolok ukur padangan publik. Isu perlindungan santri tetap mendesak untuk ditangani secara serius.
Tak hanya di Indonesia, di berbagai negara pun kasus serupa juga terjadi dengan pola respons yang mirip, ada dorongan kuat menuju transparansi dan perlindungan korban, tetapi juga hambatan kultural dan struktural.
Pola umum yang berulang lintas negara
Kasus pelecehan seksual di institusi keagamaan, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia, memperlihatkan pola yang berulang. Kajian akademik di jurnal Child Abuse & Neglect dan Journal of Child Sexual Abuse menekankan relasi kuasa yang timpang antara pemuka agama dan jamaah atau santri sering kali membuat korban kesulitan melapor.
Posisi guru atau tokoh agama yang sangat dihormati menciptakan hierarki yang menekan, sehingga proses investigasi kerap terhambat sejak awal.
Selain itu, stigma sosial menjadi beban tambahan. Banyak korban takut dicap sebagai pihak yang merusak nama baik lembaga atau komunitas, sehingga memilih diam atau bahkan mencabut laporan.
Alimatul Qibtidiyah, Komisioner Komnas Perempuan dan akademisi UIN Sunan Kalijaga dalam laporan tahunan Komnas Perempuan (2020) menekankan stigma sosial selalu menjadi penghalang utama korban untuk melaporkan kasusnya.
“Korban di lingkungan agama sering dianggap mempermalukan komunitas. Stigma ini membuat banyak kasus tidak pernah sampai ke pengadilan,” ujarnya.
Situasi ini diperparah oleh sikap defensif institusi, di mana respons awal biasanya lebih berfokus pada menjaga reputasi lembaga ketimbang melibatkan aparat hukum. Tidak jarang, kasus ditangani secara internal yang minim transparansi.
Ketiadaan mekanisme pelaporan yang aman juga menjadi masalah serius. Saluran pengaduan yang independen, perlindungan saksi, maupun prosedur penanganan yang jelas sering kali tidak tersedia atau tidak dipercaya korban.
Akibatnya, perubahan nyata biasanya baru terjadi ketika ada tekanan eksternal, baik dari media, masyarakat sipil, regulator, maupun lembaga yudisial, yang memaksa institusi membuka diri dan melakukan reformasi.
Indonesia: pesantren dan lembaga berbasis agama
Di Indonesia, pesantren dan lembaga berbasis agama menghadapi tantangan serupa. Jaringan alumni yang kuat dan otoritas kyai atau ustaz memperkuat kultur hormat, yang pada gilirannya bisa menghambat pelaporan.
Meski begitu, ada perkembangan kebijakan lewat “pesantren ramah anak” dengan integrasi standar perlindungan serta kerja sama lintas kementerian dan aparat hukum. Beberapa praktik baik mulai muncul, seperti pendampingan korban oleh UPTD PPA, kolaborasi dengan kepolisian, kurikulum pencegahan, dan audit internal.
Namun, konsistensi implementasi, independensi investigasi, serta publikasi hasil penanganan kasus masih menjadi tantangan besar.
Pola yang sama di belahan Bumi lain
Di Amerika Serikat, gereja dan institusi keagamaan besar menghadapi ekspos publik yang masif. Investigasi independen, gugatan class-action, dan laporan Pennsylvania Grand Jury Report (2018) mendorong pengungkapan kasus historis dalam skala besar.
Sebagai respons, kebijakan “zero tolerance” diberlakukan, daftar pelaku dipublikasikan, pelatihan wajib diterapkan, dan kewajiban melapor ke otoritas sipil diperketat.
Meski demikian, kesenjangan praktik antar-keuskupan masih ada, dan korban menyoroti lambatnya restitusi serta akses dukungan jangka panjang.
Sementara itu, di Eropa, audit independen menjadi instrumen penting.
Komisi nasional di Spanyol (2023), Prancis (Sauvé Report, 2021), dan Jerman (2018) mengungkap pola pelecehan sistemik yang berlangsung puluhan tahun. Pengakuan publik, pernyataan penyesalan resmi, komitmen kompensasi, serta revisi protokol perlindungan anak menjadi langkah korektif.
Transparansi data, akses arsip, kewajiban melapor, dan verifikasi pihak ketiga atas implementasi kebijakan kini menjadi titik berat reformasi di masing-masing negara.
Elemen kebijakan yang dinilai efektif
Dari berbagai pengalaman tersebut, sejumlah elemen kebijakan dinilai bisa menjadi solusi efektif, mulai dari adanya saluran pelaporan independen, kewajiban melapor ke aparat hukum, audit dan publikasi berkala, pelatihan wajib serta pemeriksaan latar belakang, perlindungan korban jangka panjang, dan akuntabilitas pimpinan lembaga.
Para pengamat pun memiliki kesepakatan yang mirip, bahwa kecenderungan menutup-nutupi kasus di fase awal merupakan pola umum, tetapi transparansi bisa tumbuh ketika ada tekanan eksternal dan mekanisme independen.
Solusi yang efektif harus bersifat sistemik, dengan verifikasi pihak ketiga yang memastikan kebijakan tidak berhenti di atas kertas, melainkan benar-benar dijalankan dan diuji publik secara rutin.
Tinggalkan Komentar
Komentar