periskop.id - Di tengah ketidakpastian ekonomi global, emas kembali menjadi primadona. Harga emas Antam per 15 Oktober 2025 menembus Rp2,383 juta per gram, sebuah rekor baru yang mencerminkan keresahan pasar.
Kenaikan ini bukan sekadar angka di papan harga. Ia adalah cermin dari ketegangan geopolitik, kebijakan moneter, dan perilaku investor global yang mencari perlindungan dari badai ekonomi.
Melansir Antara, Rabu (15/10) sejak awal Oktober 2025, harga emas menunjukkan tren menanjak konsisten. Lonjakan permintaan terjadi seiring ekspektasi penurunan suku bunga The Fed, yang membuat dolar melemah dan emas semakin menarik.
Selain faktor moneter, konflik geopolitik di Timur Tengah dan ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok memperkuat persepsi emas sebagai aset aman (safe haven). Investor global berbondong-bondong mengalihkan portofolio mereka.
Di Indonesia, dampaknya terasa nyata. Pegadaian melaporkan lonjakan transaksi emas batangan, baik Antam, UBS, maupun Galeri24. Bahkan, beberapa pecahan kecil seperti 0,5 gram menjadi incaran masyarakat kelas menengah.
Namun, kenaikan harga emas bukanlah fenomena yang sepenuhnya tak terduga. Para analis sudah lama memperingatkan bahwa kombinasi inflasi global, pelemahan mata uang, dan ketidakpastian politik akan mendorong harga emas ke level tertinggi.
Meski demikian, besarnya lonjakan tetap mengejutkan. Dalam kurun waktu hanya empat hari, harga emas Antam naik lebih dari Rp80.000 per gram. Lonjakan ini memicu “demam emas” di kalangan investor ritel.
Kelebihan dan kekurangan emas
Dari sisi kelebihan, emas memiliki reputasi sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi. Nilainya relatif stabil dalam jangka panjang, mudah dicairkan, dan diakui secara global. Hal ini membuatnya cocok sebagai diversifikasi portofolio.
Selain itu, emas tidak tergerus oleh risiko gagal bayar seperti obligasi atau saham perusahaan. Ia bersifat tangible, dapat disimpan secara fisik, dan memiliki nilai intrinsik yang tidak bergantung pada kinerja entitas tertentu.
Namun, emas juga memiliki kelemahan. Tidak seperti saham yang bisa memberikan dividen, emas tidak menghasilkan arus kas. Keuntungan hanya diperoleh dari selisih harga jual dan beli.
Biaya penyimpanan dan keamanan juga menjadi pertimbangan. Menyimpan emas fisik dalam jumlah besar memerlukan brankas atau jasa penyimpanan khusus, yang tentu menambah ongkos investasi.
Selain itu, volatilitas jangka pendek bisa menimbulkan kerugian bagi investor yang masuk di puncak harga. Mereka yang membeli emas saat harga sedang tinggi berisiko menunggu lama untuk kembali ke titik impas.
Pada akhirnya, kenaikan harga emas adalah refleksi dari keresahan global sekaligus peluang investasi. Bagi sebagian orang, emas adalah simbol keamanan. Namun bagi yang lain, ia bisa menjadi jebakan jika tidak dikelola dengan strategi yang matang.
Tinggalkan Komentar
Komentar