Persikop.id - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta menyatakan memahami dan menghargai pentingnya perlindungan terhadap hak cipta, termasuk karya seni musik. Ketua PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono di Jakarta, Jumat (1/8) seperti dilansir Antara mengakui, pencipta lagu dan musisi juga berhak mendapatkan penghargaan yang layak atas karya mereka.
"Namun, kami juga ingin menyampaikan bahwa saat ini kondisi industri perhotelan sedang tidak mudah," ujarnya, menanggapi aturan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang komersial, termasuk restoran, kafe, pusat kebugaran serta hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Menurutnya, setelah terdampak berat oleh pandemi, sekarang sektor horeka masih berjuang menghadapi tekanan biaya operasional yang terus meningkat mulai dari listrik, air, pajak hingga kewajiban-kewajiban lain. Sutrisno mengatakan, okupansi hotel juga masih terbilang lamban bahkan cenderung turun beberapa bulan terakhir.
Untuk itu, Sutrisno mengatakan, pihaknya berharap kebijakan mengenai kewajiban membayar royalti ini dapat diterapkan secara bijaksana dan proporsional. "Jangan sampai niat baik untuk melindungi hak cipta justru meruntuhkan daya saing sektor lain terutama hotel-hotel kecil dan menengah yang sedang berjuang untuk bertahan sekedar hidup," kata Sutrisno.
Tak hanya itu, Sutrisno menyampaikan, pihaknya juga sangat berharap agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta khususnya, bisa menjadi fasilitator yang adil untuk menjembatani antara pelaku usaha dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Hal itu agar ada kejelasan, transparansi dan skema pembayaran yang tidak menghancurkan daya tahan. "Kami juga berharap ada sosialisasi yang masif dan mekanisme yang akuntabel dalam penarikan maupun penggunaan dana royalti tersebut," ucapnya.
Penuhi Aturan
Sebelumnya,PHRI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengimbau para pengelola restoran di provinsi ini mematuhi aturan terkait royalti musik demi menghindari pelanggaran hukum.
"Kami sudah mengimbau kepada anggota PHRI, terutama restoran, untuk selalu menghindari masalah hukum terkait royalti dan bisa mengikuti aturan-aturan yang ada," kata Ketua PHRI DIY Deddy Pranowo Eryono saat dihubungi di Yogyakarta, Rabu (30/7).
Deddy menyebutkan, sejauh ini sebagian pelaku usaha restoran di DIY telah mengetahui kewajiban tersebut dari pemberitaan media serta imbauan dari Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI."Sosialisasi detail belum kita dapat. Informasi sejauh ini masih melalui berita-berita dan imbauan BPP PHRI pusat," ujarnya.
Ia mengakui, penerapan aturan terkait royalti musik tersebut tidak sepenuhnya mudah, akan tetapi pengelola restoran tetap bisa meminta penjelasan langsung kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
"Penerapannya memang agak sulit di lapangan, tapi kami bisa langsung bertanya ke lembaga yang ditunjuk, yaitu LMKN," katanya lagi.
PHRI DIY berharap pemerintah, khususnya Kementerian Hukum (Kemenkum) lebih gencar turun langsung ke wilayah untuk melakukan sosialisasi terkait aturan itu kepada pelaku usaha secara menyeluruh.
Menurut Deddy, saat ini ada sekitar 75 restoran anggota PHRI DIY di lima kabupaten/kota yang diharapkan mendapat sosialisasi atau proaktif mencari informasi, agar tidak ada pelanggaran hak cipta musik.
"Kami berharap Kemenkum bisa lakukan sosialisasi ke daerah-daerah biar lebih jelas," tuturnya.
Ibun, salah satu pengelola kafe di Yogyakarta menuturkan, , musik laksana nyawa yang mampu membuat suasana kafe lebih hidup. Tanpa ada alunan musik, ia khawatir para pengunjung merasa bosan dan lekas beranjak. Kalau tanpa musik jadi sepi. kurang mengundang pengunjung," ucapnya.
Ibun sendiri mengaku belum pernah mendengar aturan royalty yang tengah hangat jadi perbincangan. "Belum ada yang datang kasih tahu atau sosialisasi. Kalau harus daftar dan bayar royalti sepertinya akan ribet," serunya.
Kafe yang dikelola Ibun memang bukan usaha berskala besar. Menu di sana dijual dengan harga terjangkau, mulai Rp10.000 hingga paling mahal Rp17.000. Pengunjungnya bervariasi, rata-rata 70 orang per hari, namun bisa melonjak hingga 300 orang saat akhir pekan atau musim libur.
Ia khawatir apabila kewajiban membayar lisensi musik diterapkan tanpa mempertimbangkan skala usaha, kafe sederhana macam miliknya bakal kesulitan.
Lisensi Tambahan
Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik komersial, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kementerian Hukum (Kemenkum) Agung Damarsasongko mengungkapkan hal tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music atau layanan "streaming" lainnya.
Ia menjelaskan layanan "streaming" bersifat personal, tetapi ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, maka itu sudah masuk kategori penggunaan komersial sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah.
Dia mengatakan, pembayaran royalti dilakukan melalui LMKN sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Agung juga menanggapi kekhawatiran sebagian pelaku usaha yang menyatakan akan memblokir pemutaran lagu-lagu Indonesia demi menghindari pembayaran royalti. Menurut dia, hal itu justru akan melemahkan ekosistem musik lokal dan tidak memberikan apresiasi kepada pencipta/pemegang hak cipta.
Ia berpendapat, musik merupakan bagian dari identitas budaya, sehingga saat pelaku usaha enggan memberikan apresiasi yang layak kepada pencipta lagu Indonesia, maka yang dirugikan bukan hanya seniman, melainkan juga konsumen dan iklim kreatif nasional secara keseluruhan.
Musik Instrumental
Sementara itu menanggapi alternatif lain seperti pemutaran musik instrumental bebas lisensi atau lagu dari luar negeri, Agung menyampaikan pelaku usaha tetap perlu berhati-hati lantaran tidak semua musik instrumental bebas dari perlindungan hak cipta.
"Beberapa lagu yang diklaim no copyright justru bisa menjerat pelaku usaha dalam pelanggaran apabila digunakan tanpa verifikasi sumber, termasuk lagu dari luar negeri jika mereka dilindungi hak cipta, kewajiban royalti tetap berlaku,” kata Agung.
Disampaikan juga, apabila pelaku usaha tidak memiliki anggaran untuk membayar royalti musik, alternatif yang dapat dipilih, yaitu dengan menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free). Bisa juga dengan musik dengan lisensi creative commons, yang memperbolehkan penggunaan komersial, memutar musik ciptaan sendiri, menggunakan suara alam/ambience, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya.
Mengenai skema pembayaran, kata dia, pelaku usaha dapat mendaftarkan usahanya melalui sistem digital LMKN dan membayar royalti sesuai klasifikasi usaha dan luas ruang pemutaran musik. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Korea Selatan, kata dia, sistem serupa sudah diberlakukan sejak lama.
“Namun tujuan Indonesia bukan untuk menambah pemasukan negara, melainkan memberikan kepastian hukum serta memastikan bahwa pelaku industri kreatif mendapatkan hak ekonominya secara adil,” ungkapnya.
Di sisi lain, Agung menekankan pihaknya juga memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak dipukul rata kepada UMKM. Ini karena terdapat mekanisme keringanan atau pembebasan tarif royalti sesuai ketentuan yang diatur oleh LMKN, berdasarkan ukuran ruang usaha, kapasitas pengunjung, serta tingkat pemanfaatan musik dalam operasional harian.
Dirinya pun mengimbau pelaku UMKM untuk mengajukan permohonan keringanan secara resmi agar mendapatkan perlindungan hukum sekaligus mendukung ekosistem musik nasional.
Tinggalkan Komentar
Komentar