periskop.id - Bagi generasi muda di Indonesia, khususnya milenial dan Gen Z, film "Pengkhianatan G30S/PKI" hadir sebagai sebuah artefak budaya yang kompleks dan sarat dengan perdebatan. Pandangan terhadap karya sinematik ini terbelah menjadi dua kutub yang kontras.
Bagi generasi yang tumbuh di era Orde Baru, film ini seringkali membangkitkan ingatan tentang sebuah tontonan yang "mengerikan, sadis, suram," sekaligus berfungsi sebagai "edukasi sejarah kelam" bangsa.
Namun, seiring dengan keterbukaan informasi dan pergeseran wacana publik, pandangan yang lebih baru dan kritis seringkali melabeli film ini sebagai "propaganda rezim orba untuk mempertahankan stigma negatif terhadap kaum komunis".
Di tengah pusaran kontroversi ini, terdapat berbagai elemen sinematik yang membuatnya menjadi sebuah karya yang terus dianalisis, salah satu yang paling fundamental dan melekat dalam ingatan kolektif adalah musik latarnya.
Sebuah Produksi Monumental di Zamannya
Film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer ini merupakan sebuah proyek kolosal pada masanya. Proses produksinya dimulai pada tahun 1982 dan memakan waktu pengerjaan selama kurang lebih dua tahun, sebuah rentang waktu yang menandakan keseriusan dan skala proyek ini.
Dengan biaya produksi yang tergolong sangat tinggi untuk era tersebut, film ini menghasilkan sebuah karya monumental dengan durasi lebih dari empat jam.
Kehadirannya tidak hanya sebatas di layar perak, tetapi juga menjadi bagian dari agenda negara. Di bawah pemerintahan Soeharto, film ini diwajibkan untuk tayang setiap tahun dari 1984 hingga 1997, menjadikannya sebuah ritual media nasional yang dialami oleh jutaan orang Indonesia.
Salah satu adegan paling simbolis yang menggambarkan konteks sosio-politik zaman itu adalah adegan pembuka film. Dalam adegan tersebut, seorang pria terlihat memutar piringan hitam berisi lagu "Bis Sekolah" dari grup musik legendaris Koes Plus.
Tak lama kemudian, ia menghentikan musik tersebut, melepas piringan hitamnya, dan menumpuknya di atas buku-buku yang diidentifikasi sebagai propaganda barat serta sebuah gambar band The Beatles.
Puncaknya adalah ketika ia menyiramkan sejenis bensin atau minyak tanah ke tumpukan itu dan membakarnya. Adegan ini bukan sekadar pembuka yang dramatis, melainkan sebuah representasi visual yang kuat dari gerakan anti-Barat yang dikenal dengan slogan "Ganyang Nekolim" (Neo Kolonialisme, yang merujuk pada Amerika dan Inggris), sebuah gerakan yang gencar digaungkan oleh Bung Karno menjelang tahun 1965. Konteks ini diperkuat oleh fakta sejarah bahwa band Koes Plus sendiri pernah ditahan oleh rezim Soekarno karena dianggap memainkan musik rock and roll yang pro-barat.
Sinematografi yang Membangun Atmosfer
Dari segi sinematografi, film ini secara konsisten membangun atmosfer zamannya. Pengambilan gambar dilakukan dengan visual yang dirancang untuk mereplikasi era 1965, diperkuat dengan teknik pencahayaan bergaya tahun 60-an dan pergerakan kamera yang juga relatif tidak terlalu cepat.
Struktur naratifnya pun dirancang untuk menjadi sebuah pengalaman yang imersif. Alur cerita film ini secara sadar mengakomodasi berbagai gaya penceritaan, mulai dari dokumenter, drama, thriller, horor, hingga aksi.
Perpaduan genre yang lengkap ini bertujuan untuk membuat penonton merasa "hanyut terbawa suasana mencekam" menjelang dan saat terjadinya peristiwa kelam pada 1 Oktober 1965 tersebut. Gaya penceritaan dan estetikanya ini dinilai unik dan berbeda jika dibandingkan dengan film-film sejenis yang bertema sejarah atau perjuangan pada masa itu.
Embi C. Noer dan Komposisi Musik Ikonik
Di jantung dari atmosfer mencekam inilah terdapat peran sentral seorang Embi C. Noer, sang penata musik film. Sebagai komponis, Embi C. Noer adalah arsitek utama dari lanskap audio yang menjadi identitas tak terpisahkan dari film ini. Ia adalah adik dari sutradara film G30S/PKI ternama Arifin C. Noer.
Tugasnya bukan sekadar mengisi adegan dengan musik, melainkan secara sengaja membangun sebuah atmosfer yang "gelap, kelam, menegangkan," dan bernuansa horor, meskipun film ini tidak mengusung tema hantu atau supranatural seperti film horor pada umumnya.
Proses kreatif Embi C. Noer berawal dari sebuah lagu rakyat yang sederhana namun kuat yaitu "Genjer-genjer". Menurutnya, lagu ini sangat mudah didengar atau audio able dan sangat cocok untuk membangun atmosfer suram yang ia cari untuk film G30S.
Eksplorasi musikalnya dimulai dari sebuah langkah sederhana, yaitu mencoba memainkan melodi lagu tersebut menggunakan suling. Dari eksperimen awal inilah, ide-idenya kemudian berkembang pesat.
Ia mulai merancang musik latar yang unik dan spesifik untuk setiap adegan penting dalam film, seperti adegan di Istana Kepresidenan, suasana saat warga antre minyak dan beras, adegan rapat-rapat gelap PKI, latihan perang para sukarelawan di Kawasan Lubang Buaya, hingga momen puncak pada adegan penculikan, penyiksaan para jenderal, serta penemuan jenazah mereka di sumur tua Lubang Buaya.
Sumber informasi mengenai proses kreatif ini diungkapkan langsung oleh Embie C. Noer dalam sebuah wawancara di kanal Youtube Fadli Zon pada tahun 2023.
Sejarah Kelam di Balik Lagu "Genjer-genjer"
Sejarah lagu "Genjer-genjer" itu sendiri merupakan sebuah narasi yang kompleks. Pada awalnya, lagu ini adalah sebuah lagu rakyat yang berasal dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur, diciptakan oleh seniman bernama Muhammad Arief.
Lagu ini lahir sebagai bentuk kritik sosial terhadap kondisi rakyat yang mengalami kesulitan ekonomi parah pada masa pendudukan Jepang tahun 1942.
Popularitasnya sempat meroket setelah dibawakan kembali oleh artis legendaris Bing Slamet dan Lilis Suryani pada tahun 1962. Namun, takdir lagu ini berubah drastis ketika ia diadopsi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui salah satu organisasi underbow mereka di bidang kebudayaan, Lekra.
PKI menggunakan lagu ini sebagai salah satu media propaganda dan kampanye politik mereka pada kurun waktu tahun 50-an hingga 60-an. Keterkaitan inilah yang menjadi alasan utama mengapa lagu ini kemudian dilarang dan diberi stigma negatif oleh rezim Orde Baru setelah peristiwa G30S, yang menurut versi resmi rezim saat itu didalangi oleh PKI.
Dampak Audio Terhadap Ingatan Penonton
Dampak dari musik latar ini terbukti begitu kuat dan melekat di benak penonton lintas generasi. Berdasarkan korespondensi dengan beberapa penonton, mereka membagikan ingatan dan perasaan yang timbul saat mendengar musik film ini.
Menurut Hasyim Al-Habsiy (35 tahun), musik yang paling khas dan berkesan adalah pada adegan penjemputan atau penculikan para jenderal di kediaman mereka, yang ia rasakan sangat mencekam dan membuat tegang.
"Sound khasnya itu film saat penjemputan / penculikan ke rumah-rumah Jenderal, sangat mencekam dan bikin deg-degan”.
Kenangan serupa diungkapkan oleh musisi Fadli Irianto (43 tahun), yang merasa musik pada adegan penculikan dan penyiksaan para jenderal yang ditangkap hidup-hidup adalah yang paling membekas di ingatannya. Baginya, efek musik tersebut sangat meneror.
“Backsound-nya yang waktu penculikan para Jenderal dan saat mereka yang ditangkap hidup-hidup lalu disiksa itu yang paling nyangkut di otak saya, sangat meneror horornya”.
Sementara itu, Tita Mufaritoh (43 tahun) menggambarkan musiknya memiliki tempo yang lambat, mudah diingat, dan unik. Ia menyoroti bagian musik paling horor terjadi pada adegan penculikan Jenderal Nasution, khususnya saat pasukan Cakrabirawa turun dari truk dan menembak seorang prajurit penjaga.
“Backsound-nya slow, catchy, unik dan bagian backsound paling horror waktu scene penculikan Jenderal Nasution saat pasukan Cakrabirawa turun dari truk dan melakukan penembakan".
Lain lagi dengan Ellin Febriyanti (38 tahun), yang merasakan dampak musik secara spesifik pada adegan yang berbeda. Ia mengungkapkan bahwa lagu "Genjer-genjer" yang mengiringi adegan para sukarelawan menari di Lubang Buaya membuatnya sangat merinding.
“Saya sampai merinding di pas lagu genjer-genjer yang ada adegan sukarelawan di lubang buaya berjoget-joget”.
Pandangan menyeluruh diberikan oleh Kaldera Guntur (23 tahun), yang menyimpulkan bahwa musik latar film G30S/PKI terasa menegangkan dan mencekam layaknya musik film horor di sepanjang durasinya.
Ia juga menegaskan bahwa adegan yang paling membekas baginya adalah saat terjadinya penculikan para jenderal.
“Backsound film G30S/PKI sangat menegangkan, mencekam dan seperti backsound film horror pada sepanjang film tersebut, scene yang paling membekas yaitu ketika terjadinya penculikan para Jenderal oleh pasukan G30/PKI”.
Analisis Teknis Musik Pembangun Ketegangan
Secara teknis, konstruksi musiknya menggunakan beberapa elemen kunci. Komposisinya didominasi oleh "Notasi minor rendah, dengan balutan tone-tone psikedelik, [dan] tempo yang relatife lambat".
Efek horor dari musik ini diperkuat oleh kontrasnya dengan adegan-adegan yang secara visual menggambarkan "kesuraman, kesengsaraan, kebrutalan dan kengerian".
Teknologi suara pada era tersebut, yang belum secanggih sekarang, justru memberikan sebuah lapisan keunikan. "Nuansa analog, [dan] ruang ambiencenya yang klasik juga turut mendukung backsound dalam film G30S menjadi begitu mencekam".
Contoh spesifik dari penataan musik ini dapat ditemukan pada adegan penyiksaan para jenderal yang ditangkap hidup-hidup, yaitu Mayjend S.Parman, Brigjen Sutoyo, Mayjend Suprapto, dan Lettu Pierre Tendean.
Dalam adegan ini, terdengar "Suara piano dengan chord-chord minor yang diulang-ulang dan ada tabuhan gendang". Komposisi ini dirancang agar penonton dapat berimajinasi dan merasakan ketakutan serta kengerian dari siksaan biadab yang dihadapi para jenderal tersebut.
Selain itu, "Suara suling yang meliuk-liuk dengan tempo medium" digunakan untuk memperkuat dan seolah memberi nyawa pada visual kekejaman yang dilakukan oleh para penyiksa terhadap korban-korbannya di Lubang Buaya.
Penempatan musiknya pun sangat diperhitungkan, dengan tingkat kengerian yang berbeda-beda, dari yang sangat mengerikan, sedang, hingga yang hanya menciptakan atmosfer genting seperti pada adegan awal saat Presiden Soekarno sakit di Istana Bogor.
Warisan Kompleks dan Status Legendaris
Keberhasilan musik latar ini dapat diukur dari kemampuannya untuk berdiri sendiri. Jika seorang penonton hanya mendengarkan audionya saja tanpa melihat visual film, dan ia sudah dapat merasakan kengerian yang membekas di kepala hingga bisa membayangkan kejadian dalam film, maka musik latar tersebut telah berhasil menyampaikan karakter dan pesan tersiratnya kepada penonton.
Terlepas dari perdebatan mengenai film ini sebagai propaganda Orde Baru atau mengandung narasi kebohongan untuk melanggengkan kekuasaan saat itu, tidak dapat dipungkiri bahwa secara sinematografi, alur cerita, dan musik latar, film ini merupakan salah satu film Indonesia yang melegenda.
Status legendaris ini juga didukung oleh jajaran aktor ternama pada masanya seperti Amaroso Katamsi, Umar Kayam, Ade Irawan, Wawan Wanisar, Bram Adrianto, Jack Maland, Charlie Sahetapy, Silvana Herman, dan banyak lagi.
Tinggalkan Komentar
Komentar