periskop.id - Pemandangan di Gampong Meunasah Bie dan sekitarnya di Pidie Jaya minggu ini sungguh heroik sekaligus mengharukan. Bayangkan, di saat mesin-mesin ekskavator raksasa menyerah karena terbenam lumpur sedalam satu meter, empat sosok "raksasa" lain justru melenggang masuk dengan gagah.
Mereka adalah Abu, Mido, Ajis, dan Noni, empat gajah jinak yang dikerahkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Sejak tanggal 8 Desember 2025, gajah-gajah dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree ini menjadi tulang punggung operasi pemulihan. Dengan belalainya yang kuat, mereka menyingkirkan batang kayu raksasa dan puing-puing sisa banjir bandang yang menutup akses desa. Anak-anak tersenyum, warga bersorak. Gajah-gajah ini dielu-elukan sebagai pahlawan.
Tentu, apresiasi setinggi langit layak kita berikan kepada BKSDA Aceh, para mahout (pawang), dan tim medis yang bekerja keras. Namun, jika kita mau jujur dan melihat lebih dalam, ada rasa malu yang menyelinap di balik rasa kagum tersebut.
Kenapa? Karena ada sebuah ironi besar yang sedang dipertontonkan alam di depan mata kita.
Saat Hutan Gundul dan Gajah Turun Tangan
Mari kita tarik napas sejenak dan bertanya, mengapa banjir bandang ini bisa terjadi begitu parah?
Banjir bandang jarang sekali disebabkan oleh faktor curah hujan semata. Air bah yang membawa serta lumpur pekat dan batang-batang kayu besar adalah indikasi kuat adanya kerusakan di hulu sungai. Hutan yang seharusnya menjadi spons alami penahan air, kini telah gundul.
Data berbicara fakta yang pahit. Berdasarkan laporan dari Forest Watch Indonesia (FWI), Provinsi Aceh kehilangan sekitar 177 ribu hektare hutan dalam tujuh tahun terakhir. Bahkan, sepanjang tahun 2024 saja, diperkirakan 16 ribu hektare hutan alam hilang.
Di sinilah letak ironinya. Hutan yang rusak itu adalah rumah asli bagi para gajah. Ketika rumah mereka dirusak oleh aktivitas manusia dengan pembalakan liar dan alih fungsi lahan, keseimbangan alam terganggu, dan terjadilah banjir.
Lalu, siapa yang kita panggil untuk membereskan kekacauan akibat banjir tersebut? Benar, si pemilik rumah yang tergusur itu, gajah.
Dulu Diusir, Kini Menolong: Ironi Besar dalam Konflik Gajah-Manusia
Selama bertahun-tahun, narasi yang sering kita dengar tentang gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) adalah narasi konflik. Gajah sering dianggap "hama" karena masuk ke perkebunan warga. Padahal, mereka masuk ke kebun karena habitat mereka di hutan semakin sempit dan terfragmentasi.
Namun, di Pidie Jaya hari ini, kita melihat pemandangan yang kontras. Gajah yang sering diusir dengan petasan, bahkan tak jarang diracun di tempat lain, kini justru menjadi satu-satunya harapan untuk membuka jalan bagi logistik manusia.
Berdasarkan laporan Antara, keempat gajah ini (Abu, Mido, Ajis, Noni) diturunkan karena alat berat mekanis tidak mampu menembus medan lumpur.
- Mereka menarik kayu-kayu gelondongan yang mungkin saja sisa dari pohon-pohon tempat mereka dulu bernaung.
- Mereka berjalan menembus lumpur, material yang hanyut karena akar pohon tak lagi mengikat tanah.
Gajah-gajah ini membersihkan dampak dari kerusakan lingkungan yang ironisnya disebabkan oleh spesies yang sama yang kini meminta tolong pada mereka, yaitu manusia.
Kehadiran Abu, Mido, Ajis, dan Noni seharusnya menampar kesadaran kolektif kita. Ini bukan sekadar momen lucu-lucuan untuk konten media sosial. Ini adalah teguran keras dari alam.
Gajah memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Saat mereka membantu kita, mereka tidak menaruh dendam. Namun, apakah etis jika kita terus-menerus mengandalkan kebaikan mereka saat bencana, tapi kembali abai saat bencana usai? Kita tidak bisa terus-menerus menangani banjir tanpa menghentikan perusakan hutan.
Apa Langkah Kita Selanjutnya?
Memberikan sekeranjang buah-buahan segar kepada Abu dan kawan-kawannya setelah tugas usai memang gestur yang manis. Itu adalah ucapan terima kasih yang layak mereka terima. Namun, rasanya itu belum cukup. Buah-buahan hanya mengenyangkan perut mereka sesaat, tetapi tidak menjamin masa depan mereka.
Balasan terima kasih terbaik, paling bermartabat, dan paling fair untuk para gajah ini adalah satu, yaitu jaminan kelestarian rumah mereka.
Berikut adalah langkah nyata yang bisa kita ambil:
1. Hentikan Deforestasi
Penegakan hukum terhadap perambah hutan di hulu sungai Aceh harus dipertegas, bukan sekadar imbauan. Kita harus sadar bahwa tanpa hutan yang utuh, gajah akan punah, dan manusia akan terus-menerus menjadi korban "langganan" bencana.
2. Kembalikan Koridor Satwa
Kita perlu mendukung penuh program pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh dalam membangun dan menjaga koridor satwa. Biarkan gajah liar memiliki jalurnya sendiri untuk bermigrasi sehingga mereka tidak perlu bergesekan dengan permukiman manusia.
3. Revolusi Pola Pikir
Sudah saatnya kita berhenti memandang gajah sebagai musuh, hama, atau sekadar alat bantu saat kita kesusahan. Mereka adalah penjaga keseimbangan ekosistem. Menjaga gajah sejatinya adalah upaya menjaga diri kita sendiri dari bencana ekologis di masa depan.
Di balik langkah kaki gajah yang menembus lumpur itu, tersimpan pesan yang tak boleh kita abaikan, mereka tetap datang menolong meski rumah mereka sendiri dirampas. Kini giliran kita menunjukkan bahwa manusia pun mampu membalas kebaikan dengan keberpihakan yang nyata.
Tinggalkan Komentar
Komentar