periskop.id - Di tengah riuhnya olahraga ekstrem modern, Døds diving muncul sebagai fenomena yang tak hanya menantang nyali, tetapi juga merayakan keberanian dan ekspresi tubuh.
Mengutip berbagai sumber, Døds diving atau Death diving (lompatan kematian) adalah olahraga ekstrem yang berasal dari Norwegia, olahraga ini menggabungkan elemen loncat indah, akrobatik, dan sedikit kegilaan yang terkontrol. Sekilas terlihat seperti aksi sembrono, namun di baliknya tersimpan teknik dan disiplin yang ketat.
Døds diving pertama kali dikenal pada 1960-an di kolam renang Frognerbadet, Oslo. Seorang pemuda bernama Erling Bruno mempopulerkan gaya melompat dengan tubuh terbuka lebar, seolah hendak menghantam air dengan keras.
Namun, sesaat sebelum menyentuh permukaan, tubuhnya melipat seperti udang, mengurangi dampak dan menciptakan cipratan dramatis. Gaya ini kemudian menjadi ciri khas Døds diving.
Pada 1972, olahraga ini mulai diorganisasi secara lebih formal. Komunitas lokal mengadakan kompetisi tahunan yang menarik perhatian publik.
Seiring waktu, Døds diving berkembang dari sekadar hiburan musim panas menjadi ajang internasional yang diikuti oleh atlet dari berbagai negara. Kejuaraan dunia Døds diving kini rutin digelar di Oslo, dengan ribuan penonton memadati tribun untuk menyaksikan aksi para pelompat.
Ada dua kategori utama dalam Døds diving: Classic Døds dan Freestyle Døds. Classic Døds menekankan pada pose tubuh terbuka selama mungkin sebelum melipat, sedangkan Freestyle Døds memberi ruang bagi kreativitas—salto, putaran, dan gerakan akrobatik lainnya diperbolehkan selama tetap menjaga elemen “death dive” yang khas.
Kedua gaya ini dinilai berdasarkan teknik, ekspresi, dan dampak visual saat masuk ke air.
Meski terlihat berbahaya, para atlet Døds diving menjalani latihan intensif untuk menguasai teknik melipat tubuh di udara. Kecepatan jatuh dari ketinggian 10 hingga 12 meter bisa mencapai 60 km/jam, dan kesalahan kecil dapat berujung cedera serius. Oleh karena itu, kontrol tubuh dan timing menjadi aspek krusial dalam setiap lompatan.
Fakta menarik lainnya, Døds diving memiliki komunitas yang sangat inklusif. Tak hanya pria muda yang mendominasi, tetapi juga perempuan dan peserta dari berbagai usia ikut berpartisipasi. Bahkan ada kategori “veteran” untuk pelompat berusia di atas 40 tahun.
Ini menunjukkan bahwa olahraga ini bukan sekadar aksi nekat, tetapi juga bentuk seni dan kebersamaan.
Di media sosial, video Døds diving sering viral karena kombinasi antara ketegangan dan hiburan. Cipratan air yang besar, ekspresi wajah pelompat, dan reaksi penonton menjadi daya tarik tersendiri. Banyak yang menyebutnya sebagai “loncat indah versi punk”, sebuah kegiatan yang liar, bebas, tapi tetap terstruktur.
Døds diving juga menjadi simbol budaya Norwegia yang menghargai keberanian dan kebebasan berekspresi. Pemerintah lokal bahkan mendukung penyelenggaraan kompetisi sebagai bagian dari promosi pariwisata dan olahraga kreatif.
Oslo kini dikenal bukan hanya karena fjord dan aurora, tetapi juga sebagai rumah bagi olahraga paling ekstrem di dunia air.
Meski belum sepopuler selancar atau parkour, Døds diving perlahan menarik perhatian global. Negara-negara seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Australia mulai mengadakan kompetisi lokal. Beberapa atlet bahkan menjadikan Døds diving sebagai karier profesional, lengkap dengan sponsor dan pelatihan khusus.
Døds diving bukan hanya tentang melompat dari ketinggian. Ini adalah pernyataan: bahwa keberanian bisa dirayakan, bahwa tubuh manusia mampu menari di udara, dan bahwa seni bisa lahir dari risiko dan batas-batas tipis pada cedera.
Tinggalkan Komentar
Komentar