periskop.id - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan komitmennya dalam melindungi kerja jurnalis sebagai bagian dari mandat kelembagaan. Dalam Forum Konsultasi Nasional yang digelar di Jakarta pada 5 Agustus 2025, Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Komnas HAM, Imelda Saragih, menyatakan bahwa kebebasan pers dan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan peraturan nasional.
“Tren ancaman dan serangan terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran HAM yang menimbulkan chilling effect, serta membatasi kebebasan berekspresi dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi,” ujarnya dikutip dari Antara, Kamis (7/8).
Laporan program Jurnalisme Aman menunjukkan bahwa dari 55 jurnalis yang diwawancarai secara mendalam, mayoritas pernah mengalami kekerasan atau ancaman saat menjalankan tugas. Bentuk kekerasan yang dialami meliputi intimidasi verbal, serangan fisik, hingga ancaman digital.
Tiga wilayah dengan tingkat kekerasan tertinggi terhadap jurnalis adalah Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya, masing-masing dengan karakteristik ancaman yang berbeda.
Sebagai respons atas temuan tersebut, Yayasan Tifa bersama Konsorsium Jurnalisme Aman mengusulkan pembentukan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis (RAN-PJ). Project Officer Jurnalisme Aman, Arie Mega, menyebut bahwa RAN-PJ harus menjadi inisiatif lintas sektor yang didukung oleh komitmen politik dan anggaran negara.
“RAN-PJ diperlukan sebagai inisiatif bersifat lintas sektor dan menuntut adanya komitmen politik yang kuat serta dukungan anggaran dari negara,” tegasnya.
Arie juga merekomendasikan pembentukan unit khusus di kepolisian dan kejaksaan untuk menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis secara spesifik. Menurutnya, penanganan selama ini masih terfragmentasi dan belum terintegrasi secara nasional. Ia menyoroti bahwa nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri belum sepenuhnya diterapkan di daerah, sehingga perlindungan jurnalis masih bersifat sporadis.
Di sisi lain, pelatihan keamanan jurnalistik belum menjadi program wajib di media maupun organisasi profesi. Arie mengungkapkan bahwa banyak jurnalis tidak memiliki SOP peliputan yang jelas, dan sistem aduan yang aman belum tersedia secara merata.
“SOP peliputan di lapangan tidak tersedia atau tidak diketahui oleh aparat, dan sistem aduan yang aman belum dibentuk secara merata di wilayah,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya mekanisme pemulihan bagi jurnalis korban kekerasan, termasuk dukungan hukum, psikososial, dan perlindungan digital. Laporan menunjukkan bahwa 65% responden mengaku sering atau kadang-kadang menghadapi intimidasi, yang berdampak langsung pada rasa aman dan cara mereka bekerja.
Jenis kekerasan yang dialami jurnalis di tiga wilayah tersebut pun beragam. Di Aceh, ancaman verbal, larangan liputan, dan perampasan alat menjadi kejadian dominan.
Di Sulawesi Tengah, kekerasan fisik saat meliput demonstrasi dan program strategis nasional, serta pelecehan seksual, menjadi sorotan. Sementara di Papua Barat Daya, kekerasan bersifat multidimensi berbasis ras, gender, dan politik menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis lokal.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nani Afrida, menyatakan bahwa kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih menjadi persoalan serius.
“Jurnalis makin takut melaporkan kebenaran. Kalau ini terus terjadi, masyarakat akan tersesat oleh propaganda dan disinformasi,” ujarnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar