periskop.id - Penetapan status tersangka terhadap mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, terkait keberatan pajak Bank Central Asia (BCA) sebesar Rp 5,7 triliun pada tahun 2014, menimbulkan tanda tanya besar di ruang publik. Keputusan yang muncul lebih dari satu dekade setelah kasus berlangsung seakan memunculkan aroma rekayasa yang tak bisa diabaikan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI), Sasmito Hadinagoro, menilai penetapan tersangka tersebut menyimpan skenario tersembunyi. Ia mempertanyakan kenapa kasus besar ini baru diungkap sekarang, sementara pada tahun yang sama, 2003, banyak skandal pajak lainnya justru tenggelam.

"Saya kok melihat hal ini seperti ada kaitannya dengan kengototan Hadi dan BPK mengaudit Century Gate jilid II senilai Rp 1,5 triliun," ujar Sasmito kepada Sinar Harapan.

Menurutnya, kasus ini bisa saja menjadi senjata politik untuk menghantam pemerintahan saat itu. Sasmito menduga pengungkapan ini berpotensi menyeret kasus divestasi BCA yang berlangsung di masa krisis ekonomi ketika saham perbankan seluruhnya dikuasai pemerintah sebelum dijual ke pihak swasta.

Dalam konteks divestasi, terdapat kisah perlawanan keras dari ekonom senior Kwik Kian Gie yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bappenas. 

Ia menolak penjualan saham BCA kepada Farallon tanpa terlebih dahulu mengeluarkan obligasi rekapitalisasi sebesar Rp60 triliun dari neraca perusahaan. Namun, pandangannya dikalahkan oleh tekanan dari Menteri Koordinator Ekuin, Menteri Keuangan, dan Menteri BUMN.

"Satu hari sebelum penandatanganan, debat sangat seru selama tiga jam. Saya dikalahkan. Sore jam enam, rapat dihentikan. Dorodjatun dan Laksamana ke Teuku Umar minta tanda tangan Presiden Megawati menyetujui BCA dijual dengan harga Rp5 triliun untuk 51% saham," kata Kwik seperti dituturkan kembali oleh Sasmito.

Bagi Kwik, penjualan aset negara harus melalui proses pertimbangan ekonomi menyeluruh, bukan sekadar mengikuti saran lembaga internasional. Ia dikenal sebagai sosok yang menolak subordinasi ekonomi kepada IMF dan konsisten mengkritisi praktik konglomerasi gelap yang merugikan rakyat.

Dalam kasus pajak BCA, Sasmito juga melihat adanya dinamika yang dipengaruhi oleh perlakuan istimewa kepada Bank Mandiri saat IPO. 
"Bisa saja BCA ngiri, Mandiri dapat diskon, jadi ketika BCA juga mengajukan keberatan juga inginnya seperti itu," ujarnya.

Peneliti dari Institute for Global Justice, Salamudin Daeng, turut menyuarakan kekhawatiran. Ia menyebut kasus pajak ini sebagai bagian dari sejarah gelap perampokan keuangan negara oleh oknum pemerintah yang bersinergi dengan perbankan. 

"Krisis ekonomi rawan dimanfaatkan oleh penguasa bekerjasama dengan perbankan untuk mencuri uang negara," tegas Salamudin.

Ia menyebut keterlibatan Hadi Poernomo mungkin hanya puncak gunung es. 

"Besar kemungkinan kasus ini tidak hanya berkaitan dengan Hadi, namun juga berkaitan dengan BLBI dan dana bancakan untuk membiayai Pemilu 2004," ungkapnya.

Salamudin menyoroti pola perampokan uang negara yang terus berulang, seperti yang terjadi menjelang Pemilu 2009 melalui Bailout Bank Century sebesar Rp6,7 triliun. Lagi-lagi, Boediono yang menjadi Menteri Keuangan pada 2004 dan kemudian Gubernur Bank Indonesia pada 2009, berada di pusaran kebijakan.

Keengganan Kwik Kian Gie untuk menyetujui penjualan BCA tanpa reformulasi kewajiban negara adalah contoh nyata konsistensi prinsipnya. Ia kerap berbenturan dengan tokoh-tokoh penting kabinet ketika menentang kebijakan ekonomi yang dinilainya merugikan kedaulatan negara dan kepentingan publik.

Di era Orde Baru, Kwik juga kerap melawan arus dominan kebijakan pembangunan ekonomi yang menurutnya terlalu bergantung pada utang luar negeri dan intervensi lembaga internasional seperti IMF. Ia aktif menulis kritik di media massa, termasuk di harian Kompas, menyoroti keberpihakan rezim terhadap konglomerat serta kegagalan distribusi manfaat pertumbuhan ekonomi kepada rakyat. 

Pada masa reformasi, sikap perlawanan Kwik tetap konsisten meski ia masuk kabinet. Ia sempat mengancam mundur dari jabatan Kepala Bappenas jika pemerintah tetap memperpanjang utang konglomerat bermasalah melalui skema PKPS. 

Baginya, keputusan seperti itu bukan sekadar kebijakan fiskal, melainkan tindakan yang mengabaikan kepentingan rakyat dan mencederai keadilan sosial. Keberanian untuk bertentangan dengan arus utama kekuasaan menunjukkan integritas Kwik yang tidak tunduk pada kompromi politik.

Selain menolak subordinasi kepada IMF dan skema privatisasi aset strategis negara, Kwik juga menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pilar fundamental ekonomi Indonesia. 

Ia menyebut BUMN sebagai "separuh ekonomi bangsa" yang tidak boleh dipreteli oleh kepentingan jangka pendek atau tekanan politik luar negeri. 

Dalam berbagai kesempatan, ia menyerukan pentingnya menjaga BUMN agar bangsa tidak tersandera kepentingan investor asing, menjadikan pemikirannya tetap relevan dalam diskursus ekonomi nasional hingga akhir hayatnya.