periskop.id - Proses seleksi calon Dewan Komisioner (DK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2025-2030 menjadi sorotan tajam. 

Panitia Seleksi (Pansel) yang dipimpin oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dinilai telah melakukan pelanggaran prosedur hukum yang dapat membahayakan independensi LPS di masa depan.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, menyoroti potensi risiko dari keputusan Pansel yang dianggapnya bermasalah. 

"Ini menjerumuskan Presiden, jika hasil seleksi di Istana, tetap meloloskan nama-nama yang bermasalah itu ke DPR," ujarnya baru-baru ini kepada wartawan, Sabtu (10/8).

Dua pelanggaran utama menjadi dasar kritik tersebut. 

Pertama, Pansel diduga mengubah posisi seorang kandidat, Dwityapoetra Soeyasa Besar, yang mendaftar sebagai calon anggota namun justru diajukan sebagai calon Ketua DK LPS. 

Kedua, Pansel meloloskan dua kandidat anggota yang belum mengundurkan diri dari jabatan eksekutif di perusahaan jasa keuangan saat mengikuti proses seleksi.

Langkah tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS. 

Maruf merujuk pada Pasal 66 ayat (2) yang mewajibkan anggota DK LPS bekerja penuh waktu dan melarang rangkap jabatan eksekutif. 

Aturan ini diperkuat oleh Pasal 67 huruf (i) yang secara eksplisit melarang calon anggota DK LPS menjabat sebagai pengurus, pegawai, atau pemilik di industri perbankan dan asuransi.

Maruf bahkan menduga ada kepentingan kelompok tertentu di balik keputusan ini, mengingat komposisi Pansel yang juga berasal dari Kemenkeu, OJK, dan BI. 

"Kalau dulu ada mafia Barkeley, sekarang ada gang Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang diduga berupaya menguasai sektor keuangan," katanya.

Berdasarkan pengumuman resmi Pansel, dua calon anggota yang posisinya disorot adalah Agresius R. Kadiaman, yang menjabat sebagai Risk Management and Compliance Director PT Bank China Construction Bank Indonesia Tbk, dan Ferdinan Dwikoraja Purba, yang merupakan Komisaris Independen PT Asuransi Jasa Tania Tbk. 

Sementara itu, calon anggota lainnya adalah Teguh Supangkat, Deputi Komisioner di OJK.

Pandangan senada disampaikan Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter dan Perbankan Universitas Airlangga, Wasiaturrahma. 

Ia menegaskan bahwa pejabat publik yang berfungsi sebagai regulator dilarang merangkap jabatan sebagai pengurus atau komisaris di entitas usaha untuk menghindari konflik kepentingan. 

Menurutnya, calon dari industri yang ingin menjabat di lembaga regulator semestinya menanggalkan posisi lamanya terlebih dahulu.

"Sebab itu, kalau calon tertentu dari pelaku industri berminat menduduki jabatan di lembaga pengatur (regulator) sebaiknya mengundurkan diri terlebih dahulu," ujar Wasiaturrahma.

Ia menambahkan bahwa proses seleksi yang cacat hukum akan menghasilkan keputusan yang bermasalah dan berdampak buruk bagi kinerja lembaga serta perekonomian nasional.