periskop.id - Di tengah tekanan ekonomi dan mobilitas harian yang tinggi, pekerja kelas menengah di Jakarta dan wilayah sekitarnya menghadapi tantangan berat: ongkos kerja yang terus membengkak. 

Berdasarkan laporan Kementerian Perhubungan dan Badan Pusat Statistik (BPS), empat kota di Jabodetabek yakni Depok, Bekasi, Bogor, dan Jakarta masuk dalam daftar 10 kota dengan biaya transportasi tertinggi di Indonesia. Bahkan, pengeluaran transportasi di wilayah tersebut telah melampaui batas ideal yang direkomendasikan Bank Dunia, yakni 10% dari total biaya hidup.

Mengutip berbagai sumber, di Depok, biaya transportasi bulanan tercatat mencapai Rp1,8 juta atau 16,32% dari total biaya hidup. Bekasi bahkan lebih tinggi, yakni Rp1,9 juta per bulan. Sementara Jakarta mencatat angka Rp1,59 juta atau 11,82%. 

“Angka ini menunjukkan bahwa ongkos kerja bukan hanya soal jarak, tetapi juga soal akses, efisiensi, dan ketimpangan antara tempat tinggal dan pusat ekonomi,” ujar Risal Wasal, Dirjen Integrasi Transportasi dan Multimoda Kemenhub.

Komponen biaya terbesar justru berasal dari segmen “first mile” dan “last mile”—yakni perjalanan dari rumah ke moda transportasi utama dan dari moda transportasi ke kantor. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa pekerja kelas menengah tidak hanya menghadapi tekanan pekerjaan, tetapi juga tekanan finansial yang berasal dari ongkos mobilitas. Banyak dari mereka tinggal di pinggiran karena keterbatasan biaya sewa atau kepemilikan rumah, sehingga harus menempuh perjalanan panjang dan mahal setiap hari. 

“Ini bukan sekadar soal transportasi, tapi soal ketimpangan spasial dan akses ekonomi,” ujar Dr. Yoga Permana, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia.

Menurutnya, beban ongkos kerja ini berpotensi menciptakan “kemiskinan mobilitas”, di mana pekerja terjebak dalam siklus pengeluaran tinggi untuk transportasi tanpa peningkatan kesejahteraan. 

“Ketika ongkos kerja menyedot lebih dari 15% penghasilan, maka ruang untuk menabung, berinvestasi, atau meningkatkan kualitas hidup jadi sangat sempit,” tambahnya.

Solusi jangka panjang yang diusulkan pemerintah mencakup subsidi transportasi, pengembangan hunian terjangkau di pusat kota, dan perluasan jaringan transportasi massal. 

“Biaya tinggi ini sebagian besar berasal dari perjalanan awal yang belum efisien. Kita perlu sistem transportasi yang benar-benar terintegrasi,” tegas Risal Wasal.

Di tengah situasi ini, muncul kebutuhan mendesak untuk memperbaiki sistem transportasi publik yang tidak hanya cepat dan aman, tetapi juga terjangkau. 

Tanpa intervensi kebijakan yang serius, pekerja kelas menengah akan terus tercekik oleh ongkos kerja yang menggerus pendapatan dan memperlebar ketimpangan sosial di kota-kota besar seperti Jakarta.