Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan telah melakukan modernisasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi. Namun, alih teknologi menjadi sistem otomatis, sering kali berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sekalipun Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan melalui pesangon bagi karyawan yang terdampak PHK, persoalan utama bagi karyawan sesungguhnya lebih dari sekadar manfaat pasca-PHK. Tantangan yang nyata adalah bagaimana hubungan ketenagakerjaan dapat tetap bertahan dan adaptif, di tengah pesatnya kemajuan teknologi.

Perkembangan teknologi juga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luas.  Pekerja yang tidak dapat beradaptasi dapat kehilangan pekerjaan dan hilangnya pendapatan keluarga sehingga terdampak terhadap stabilitas perekonomian keluarga. Dampak ini akan mempengaruhi kesejahteraan keluarga secara umum, termasuk akses pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pokok keluarga.

Jika tidak diantisipasi, kondisi tersebut dapat memperlebar kesenjangan sosial antara kelompok pekerja yang memiliki keterampilan digital dengan mereka yang tertinggal. Alhasil, hal ini menimbulkan tantangan baru bagi pembangunan ekonomi dan sosial.

Teknologi dan Perubahan 
Berjalannya waktu, tidak dapat menghentikan pesatnya kemajuan teknologi, termasuk dalam sistem produksi perusahaan. Untuk tetap kompetitif, perusahaan dituntut beradaptasi dengan cara kerja yang semakin modern, efektif, dan efisien. Pergeseran ini secara bertahap menggantikan sistem tradisional. Banyak pekerjaan yang dahulu dikerjakan manusia, kini dialihkan kepada mesin atau perangkat digital.

Bagi dunia usaha, otomatisasi membawa keuntungan besar. Biaya produksi dapat ditekan dengan mengurangi ketergantungan pada upah, lembur, dan tunjangan karyawan. Selain itu, mesin dan perangkat lunak dapat beroperasi secara terus-menerus dengan tingkat konsistensi tinggi, meskipun tetap membutuhkan perawatan rutin. 

Singkatnya, teknologi dipandang sebagai solusi strategis untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Namun, transisi ini juga menimbulkan tantangan baru bagi pekerja, karena peran tradisional mereka semakin berkurang, sehingga mendorong mereka untuk memperoleh keterampilan baru yang sesuai dengan tuntutan era digital.

Dari sudut pandang pekerja, perubahan ini jelas membawa tantangan besar. Banyak pekerjaan yang hilang atau bergeser akibat otomatisasi. Menolak kemajuan teknologi jelas bukan pilihan realistis, satu-satunya jalan adalah beradaptasi. 

Karena itu, pekerja dituntut untuk terus meningkatkan keterampilan, menguasai teknologi baru, dan mengembangkan kemampuan yang sulit digantikan oleh mesin. Seperti soal kreativitas, kepemimpinan, dan keterampilan sosial.

Transformasi teknologi juga menimbulkan pertanyaan sosial dan ekonomi yang lebih luas: apa yang akan terjadi pada pekerja yang tidak memiliki akses terhadap pelatihan? Apakah perusahaan akan berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia, atau justru hanya memprioritaskan efisiensi biaya? 

Dalam konteks ini, peran pemerintah sangatlah krusial, baik melalui kebijakan pelatihan vokasional, insentif bagi inovasi, maupun program perlindungan sosial untuk mencegah melebar­nya kesenjangan.

Pada akhirnya, kemajuan teknologi tidak dapat dihentikan. Mereka yang berhasil bukanlah semata-mata yang tampak ‘tak tergantikan’, melainkan mereka yang mampu mengantisipasi perubahan, beradaptasi. Juga buat mereka yang bisa memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan nilai. Dengan cara demikian, transformasi dunia kerja dapat dipandang bukan hanya sebagai ancaman, tetapi juga sebagai peluang.

Peluang Karier Baru 
Sejatinya, kemajuan teknologi tidak selalu membawa dampak negatif bagi dunia kerja. Sebaliknya, ketika sejumlah pekerjaan dengan sistem tradisional menghilang, banyak profesi baru justru bermunculan dan semakin dibutuhkan. 

Peran seperti analis data, spesialis keamanan siber, insinyur AI, pakar pemasaran digital, hingga operator mesin otomatis, kini menjadi bagian penting dalam operasional perusahaan modern. Di Indonesia, pertumbuhan e-commerce dan fintech juga telah menciptakan peluang baru, mulai dari spesialis logistik berbasis teknologi hingga analis sistem pembayaran digital.

Selain melahirkan profesi baru, teknologi juga mendukung pekerja dalam aktivitas sehari-hari. Beragam perangkat lunak dan aplikasi kini tersedia dengan biaya rendah, bahkan gratis, untuk meningkatkan produktivitas. 

Pekerja memanfaatkan alat ini dalam menyusun email, menyiapkan laporan, menerjemahkan dokumen, mengolah data, hingga mengatur jadwal kerja melalui sistem digital. Dengan dukungan tersebut, kinerja individu dapat menjadi lebih cepat, efektif, dan efisien.

Peluang baru ini seharusnya menjadi pedoman bagi para pelajar dalam merencanakan masa depan mereka. Pilihan jurusan studi maupun keterampilan yang ditekuni, akan sangat menentukan relevansi mereka di pasar tenaga kerja. 

Bidang-bidang seperti teknologi informasi, sains data, bisnis digital, desain grafis, dan rekayasa otomasi semakin diminati oleh industri. Oleh karena itu, universitas dan lembaga pelatihan perlu lebih proaktif dalam menyelaraskan kurikulum, dengan kebutuhan nyata pasar kerja.

Meski begitu, munculnya peluang baru juga berarti meredupnya sejumlah pekerjaan dengan sistem tradisional yang tidak lagi dapat bertahan. Pekerjaan yang bersifat rutin, manual, dan mudah digantikan oleh mesin akan berangsur-angsur menghilang. Hal ini menegaskan pentingnya reskilling dan upskilling, agar pekerja tetap kompetitif dan tidak tertinggal di tengah perubahan teknologi yang begitu cepat.

Peran Pemerintah dan Dunia Pendidikan 
Seiring dengan pesatnya perkembangan sistem teknologi, regulasi ketenagakerjaan di era digital menjadi semakin penting. Hingga saat ini, regulasi ketenagakerjaan di Indonesia masih berfokus pada isu-isu tradisional seperti jam kerja, upah, dan pesangon.

Sementara aturan yang secara khusus mengatur dampak otomasi, digitalisasi, dan kecerdasan buatan terhadap ketenagakerjaan, belum berkembang signifikan. Pemerintah perlu mengambil peran yang lebih adaptif melalui regulasi yang mampu memberikan kepastian hukum bagi pengusaha maupun pekerja. 

Misalnya, dengan menetapkan aturan mengenai hak-hak pekerja dalam sistem kerja berbasis platform atau menyediakan kebijakan transisi bagi pekerja yang terdampak otomatisasi.Pada saat yang sama, sektor pendidikan memiliki peran penting dalam menyiapkan tenaga kerja yang siap menghadapi tuntutan industri masa depan. 

Pendidikan tidak lagi dapat berfokus hanya pada teori, tetapi juga harus memperkuat keterampilan berbasis teknologi. Kurikulum sekolah dan universitas perlu diperbarui agar selaras dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, khususnya dalam bidang sains data, kecerdasan buatan, robotika, keamanan siber, dan literasi digital. 

Tidak kalah penting adalah mendorong kolaborasi antara institusi pendidikan dan dunia industri, sehingga orang – orang yang lulus pendidikan memperoleh pengalaman praktis yang nyata, bukan sekadar pengetahuan akademis.

Namun, pendidikan formal saja tidaklah cukup. Jalur non-formal seperti kursus, pelatihan dan program sertifikasi fleksibel juga diperlukan, agar pencari kerja maupun pekerja yang sudah ada dapat terus meningkatkan kompetensi melalui reskilling dan upskilling.

Pada akhirnya, keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada kemauan individu untuk belajar dan beradaptasi. Kesadaran soal penguasaan teknologi adalah kunci daya saing di masa depan, harus ditanamkan sejak dini, baik kepada pelajar maupun pekerja.

Peluang Di Balik Tantangan
Kesimpulannya, kemajuan teknologi membawa tantangan besar bagi dunia kerja, mulai dari otomatisasi yang mengurangi kebutuhan tenaga manusia hingga munculnya bentuk-bentuk pekerjaan baru di era digital. Namun, di balik tantangan tersebut juga terdapat peluang untuk menciptakan pekerjaan yang lebih inovatif dan produktif. 

Untuk tetap kompetitif, perusahaan harus memanfaatkan teknologi secara bijak, pemerintah perlu menghadirkan regulasi yang adaptif, dan sektor pendidikan harus membekali generasi muda dengan keterampilan yang relevan untuk masa depan. Melalui kolaborasi seluruh pemangku kepentingan, hubungan ketenagakerjaan di Indonesia dapat tetap terjaga sekaligus berhasil bertransformasi menghadapi laju pesat kemajuan teknologi.

 

Penulis: Dimas Koencoro Noegroho, adalah Senior Associate pada Soemadipradja & Taher, firma hukum di Indonesia. Pandangan yang disampaikan dalam artikel ini sepenuhnya merupakan pendapat pribadi, tidak dimaksudkan sebagai nasihat hukum, dan tidak dapat dijadikan dasar untuk bertindak.