periskop.id - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan kembali peran strategisnya dalam menjaga iklim bisnis nasional dengan fokus utama melindungi proses persaingan usaha itu sendiri, bukan sekadar melindungi pelaku usaha tertentu dari kompetitornya. Penegasan ini disampaikan untuk meluruskan pemahaman mengenai mitigasi risiko praktik monopoli.

“Jadi kami melihat bagaimana pelaku usaha itu membangun bisnisnya secara wajar, dan tanpa ada pelanggaran,” kata Komisioner KPPU Moh. Noor Rofieq dalam diskusi mitigasi risiko monopoli di Jakarta Selatan, Jumat (21/11).

KPPU memastikan penilaian terhadap dugaan pelanggaran selalu mempertimbangkan konteks bisnis secara praktis.

Lembaga pengawas ini tidak terpaku kaku pada aspek legal formal semata dalam membedah sebuah kasus persaingan.

Sebagai contoh, fenomena kesamaan harga atau paralelisme di pasar tidak serta-merta dianggap sebagai pelanggaran hukum.

KPPU menyadari keterbukaan informasi pasar saat ini membuat harga cenderung bergerak beriringan.

“Jangan takut dengan paralelisme karena pasar itu terbuka mengenai informasi harga. Dan ini harus diikuti oleh faktor-faktor lain,” ujarnya.

Dalam upaya mitigasi, KPPU mengelompokkan risiko pelanggaran ke dalam tiga sektor krusial.

Pertama adalah aspek produksi. Pelanggaran terjadi jika pengaturan volume produksi bertujuan sengaja menguasai sumber daya pasar, bukan murni untuk efisiensi operasional.

Sektor kedua menyasar aspek pemasaran dan penetapan harga. Meski isu pricing sangat sensitif, KPPU tetap rasional memperhitungkan indikator finansial.

Faktor seperti Internal Rate of Return (IRR) dan biaya investasi pada industri padat modal akan menjadi pertimbangan sebelum memvonis adanya pelanggaran harga tinggi.

Namun, KPPU mengingatkan praktik manipulasi biaya produksi yang tidak wajar bisa menjadi pintu masuk penyelidikan dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999.

Sektor ketiga adalah distribusi atau channeling. Pelaku usaha diminta waspada saat mengganti distributor.

Mereka wajib memastikan tidak ada unsur diskriminasi, seperti perbedaan tempo pembayaran yang sengaja menjatuhkan pihak tertentu.

Komisioner KPPU lainnya Dr. Ridho Jusmadi, turut menyoroti isu penetapan harga (price-fixing) yang marak terjadi di industri oligopoli.

Sektor strategis seperti farmasi, minyak dan gas, serta infrastruktur dinilai paling rentan terhadap praktik ini.

Ridho mengingatkan praktik kartel sering kali tidak meninggalkan jejak tertulis. Namun, investigator KPPU memiliki metode khusus menelusuri detail kecil (the devil is in the details) untuk pembuktian hukum.

Direktur Eksekutif Katadata Insight Center, Fakhrido Susilo, menambahkan kualitas persaingan usaha yang sehat menjadi syarat mutlak mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen.

“Kualitas institusi yang baik, termasuk di dalamnya kualitas persaingan usaha yang baik, merupakan prasyarat intangible dari 8 persen economic growth yang kita cita-citakan bersama,” tutur Fakhrido.