Periskop.id - Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menilai, istilah ‘Serakahnomics’ yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto kepada para pelaku usaha yang mengeruk keuntungan di atas penderitaan rakyat sudah tepat. Apalagi, buat kelompok pengusaha pemburu rente yang telah lama merugikan bangsa, seperti pada kasus skandal Obligasi Rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di masa lalu. 

“Para pengemplang BLBI itu adalah wajah nyata Serakahnomics,” kata Hardjuno dalam keterangannya, Selasa (22/7). .

Ia menjelaskan, betapa istilah itu tepat disematkan ke para pengemplang BLBI, karena sampai hari ini negara masih membayar bunga atas obligasi rekapitalisasi yang diterbitkan untuk menalangi kerugian bank-bank yang digelapkan dana publiknya. Apalagi, kata Hardjuno mengingatkan, jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah. 

“Ini beban nyata di dalam APBN yang diwariskan dari generasi ke generasi,” tegas Hardjuno. 

Ia mengisahkan, Obligasi Rekap BLBI yang diterbitkan pemerintah pasca-krisis 1998, memang menjadi solusi darurat saat itu. Tetapi efek jangka panjangnya menjadi bom fiskal yang terus menggerogoti ruang belanja sosial.

Alih-alih dibayar oleh pelaku kejahatan keuangan, utang itu justru ditanggung oleh rakyat melalui pajak. “Bayangkan, rakyat kecil bayar pajak untuk menanggung bunga obligasi yang seharusnya dibayar oleh para taipan yang melarikan dana BLBI. Ini bukan sekadar keserakahan, ini adalah perampokan sistemik yang dilanggengkan oleh negara,” kata Hardjuno. 

Selain itu, ia menyoroti praktik rent seeking melalui impor pangan dan energi yang makin mengakar dalam sistem ekonomi Indonesia.

Menurutnya, model bisnis yang bertumpu pada kedekatan kekuasaan tanpa memberi nilai tambah nyata, hanya akan menghancurkan daya saing nasional dan memperlebar ketimpangan. “Rent seeking membunuh persaingan sehat. UMKM mati pelan-pelan, ekonomi desa tidak bergerak, tapi elite rente terus menumpuk aset,” tambah Hardjuno.

Belum Merdeka

Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto kembali melontarkan kritik tajam ke kelompok pengusaha yang disebutnya menganut mazhab “Serakahnomics”, alam acara peluncuran kelembagaan 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes) di Desa Bentangan, Wonosari, Klaten, Senin (21/7). Presiden menegaskan, negara tidak perlu memperlakukan kelompok ini dengan baik.

“Ini sudah bukan pengusaha yang benar. Ini bukan bisnis, ini bukan entrepreneurship. Ini adalah keserakahan, ini adalah serakah. Jadi, ini bukan mazhab ekonomi lagi, ini nggak diajarkan di fakultas-fakultas,” kata Prabowo.

Ia menegaskan, praktik para pengusaha tersebut tidak bisa dibenarkan oleh teori ekonomi mana pun, baik itu mazhab liberal, neoliberal, pasar bebas, maupun ekonomi komando. Presiden bahkan mengibaratkan mereka sebagai “parasit dan vampir” yang menghisap darah rakyat, sembari menyayangkan, peringatan telah berkali-kali diberikan namun tidak diindahkan.

Dalam pidatonya, ia juga menyatakan, kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan ekonomi. Meski Indonesia sudah memiliki semua bentuk kelembagaan formal seperti DPR, MPR, DPD, gubernur, dan menteri, namun selama rakyat masih kelaparan dan miskin, imbuhnya, kemerdekaan itu belumlah lengkap.

“Kita belum merdeka. Rakyat kita masih sangat miskin, kita belum merdeka,” kata Presiden. Untuk itulah program Koperasi Desa Merah Putih dibentuk untuk membangun ekonomi dari desa, menciptakan pemerataan, dan membebaskan masyarakat dari kemiskinan struktural.