Periskop.id - Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) sekaligus Kepala BKKBN, Wihaji, menyampaikan keprihatinan serius mengenai dampak dominasi teknologi terhadap kesehatan mental remaja Indonesia. 

Ia menyebutkan bahwa tingginya penggunaan gawai memicu rasa kesepian dan stres di kalangan anak muda.

Gawai Dominasi Keluarga dan Pemicu Kesepian

Wihaji mengungkapkan bahwa sepertiga dari total populasi remaja Indonesia kini mengalami masalah kesepian akibat gaya hidup yang terlalu bergantung pada teknologi.

“Ada 68 juta anak Indonesia berumur 10-24 tahun, tetapi hampir 34% di antaranya kesepian karena hidupnya asyik dengan teknologi. Ada keluarga baru handphone, ketika anak ngobrol dengan orang tua kadang tidak didengarkan,” katanya, dalam acara Young Health Summit 2025 yang diikutinya secara daring di Jakarta, seperti dikutip oleh Antara, Selasa (30/9).

Ia juga menyoroti bagaimana gawai telah mengubah dinamika interaksi keluarga, bahkan saat kegiatan bersama seperti makan.

“Hati-hati, sekarang orang tua memegang handphone, handphone juga jadi teman kita makan. Saat makan bareng-bareng dengan keluarga, masing-masing memegang handphone sendiri-sendiri,” ujar dia.

Stres Mental dan Waktu Akses Gawai yang Tinggi

Wihaji juga membeberkan bahwa kurangnya interaksi yang disebabkan oleh dominasi gawai berdampak langsung pada kesehatan mental remaja. Menurutnya, satu dari empat remaja pernah mengalami stres yang mengganggu kesehatan mental mereka.

Kondisi ini diperburuk oleh kebiasaan online yang berlebihan. Berdasarkan penelitian yang ia sebutkan, rata-rata anak SMA mengakses gawai selama 7-8 jam per hari. Intensitas tinggi ini memicu penurunan kesehatan mental karena adanya anggapan bahwa semua permasalahan dapat diselesaikan hanya dengan mengakses internet.

Wihaji memberikan peringatan agar masyarakat tidak membiarkan teknologi mengendalikan kehidupan.

“Gara-gara ponsel, apapun sekarang diselesaikan lewat online. Negara-negara maju, teknologinya iya, tetapi jangan sampai teknologi mengatur otak kita, memberikan algoritma pada kita,” ucapnya.

Wihaji juga memberi saran di mana salah satu solusi mendasar untuk mengatasi masalah kesepian dan stres ini adalah dengan mengembalikan fungsi keluarga sebagai pusat interaksi.