periskop.id - Baru-baru ini, jagat politik Asia Tenggara dihebohkan oleh berita dari Negeri Gajah Putih, Thailand. Perdana Menteri Anutin Charnvirakul, resmi membubarkan parlemen pada Jumat, 12 Desember 2025.
Langkah ini diambil untuk mengakhiri kebuntuan politik dan mengembalikan mandat kepada rakyat melalui pemilihan umum (pemilu) dini yang harus digelar dalam 45-60 hari. Kabar ini memunculkan pertanyaan spekulatif, bagaimana jika Presiden Indonesia mengambil langkah yang sama? Apa dampaknya bagi stabilitas politik kita?
Indonesia dan Thailand mungkin berada di kawasan yang sama, tetapi secara konstitusional keduanya menempuh jalur yang berbeda. Thailand memiliki sejarah panjang intervensi militer dan konstitusi yang kerap berubah sehingga pembubaran parlemen menjadi instrumen politik yang relatif fleksibel. Sebaliknya, Indonesia pasca-Reformasi 1998 justru memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pilar utama checks and balances.
Secara konstitusional, DPR tidak berada dalam kewenangan presiden untuk dibubarkan. Perbedaan mendasar ini membuat wacana meniru langkah Thailand di Indonesia berisiko menabrak fondasi demokrasi yang dibangun sejak reformasi.
Mari kita bedah, dalam kerangka hipotesis, apa yang akan terjadi pada politik, hukum, dan ekonomi jika tombol "bubarkan DPR" itu benar-benar ditekan?
Pembubaran Parlemen: Solusi di Thailand, Pelanggaran di Indonesia
Untuk memahami betapa berbahayanya wacana pembubaran DPR, kita harus melihat mengapa langkah itu bisa dilakukan di Thailand tetapi nyaris mustahil di Indonesia. Thailand memiliki sejarah politik yang fleksibel, yaitu ketika parlemen dapat dibubarkan melalui mekanisme konstitusional oleh Perdana Menteri dengan persetujuan Raja.
Hal ini sering kali digunakan sebagai jalan pintas keluar dari kebuntuan politik atau ancaman mosi tidak percaya. Di sana, pemilu dini kerap dijadikan tombol reset kekuasaan.
Indonesia berdiri di kutub sebaliknya. Pasca-Reformasi 1998, UUD 1945 justru dirancang untuk menutup rapat pintu itu. Presiden tidak memiliki kewenangan membubarkan DPR. Sebaliknya, DPR-lah yang diberi mandat untuk mengawasi, menekan, bahkan mengusulkan pemakzulan presiden dan wakil presiden.
Masa jabatan DPR tidak bisa dipotong sesuka hati, ia hanya berakhir melalui pemilu lima tahunan. Karena itu, membubarkan DPR di Indonesia bukanlah jalan menuju pemilu dini, melainkan pelanggaran konstitusi secara terang-terangan, sebuah tindakan ekstrakonstitusional yang mendekati kudeta sipil.
Jika tombol itu benar-benar ditekan, yang lahir bukan pembaruan demokrasi, melainkan krisis konstitusional paling serius sejak Reformasi.
Ketika Krisis Politik Menjadi Bom Waktu Ekonomi dan Keamanan
Membayangkan DPR dibubarkan sama saja membayangkan jantung sistem politik kita berhenti berdetak. Dampak pertamanya adalah kekosongan legislasi dan pengawasan.
Tanpa DPR, tidak ada lembaga yang memiliki mandat untuk membuat undang-undang baru atau membahas peraturan yang mendesak. Semua rancangan undang-undang (RUU) yang sedang berjalan, mulai dari revisi UU Migas hingga RUU Ketahanan Pangan, akan terhenti tanpa kejelasan.
Hal yang tidak kalah penting adalah masalah anggaran. DPR memiliki hak konstitusional untuk membahas dan mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika DPR dibubarkan pada tengah tahun, pembahasan APBN-P (Perubahan) atau APBN tahun berikutnya akan deadlock.
Dengan demikian, pemerintah terpaksa menggunakan aturan diskresi yang sangat terbatas atau mengacu pada anggaran tahun sebelumnya yang akan melumpuhkan program pembangunan dan belanja negara yang sensitif, seperti subsidi dan bantuan sosial.
Pembubaran DPR bukan sekadar keputusan politik, melainkan pemicu krisis konstitusional. UUD 1945 menempatkan DPR sebagai pilar utama ketatanegaraan, membubarkannya sama saja dengan merobohkan fondasi demokrasi itu sendiri.
Ketika lembaga ini hilang, legitimasi sistem politik Indonesia akan langsung dipertanyakan, bukan hanya oleh publik domestik, tetapi juga oleh komunitas internasional. Dampaknya berantai, mulai dari instabilitas politik menguat, kepercayaan investor melemah, dan citra Indonesia sebagai negara demokrasi berisiko tercoreng.
Di mata dunia, hilangnya salah satu lembaga kunci negara akan dibaca sebagai tanda kegoyahan, bukan kematangan demokrasi.
Gejolak Ekonomi dan Risiko Instabilitas Keamanan
Jika DPR dibubarkan, gejolak politik tidak akan berhenti di ruang sidang, ia akan menghantam perekonomian secara brutal. Pasar membenci kekacauan dan krisis konstitusional adalah mimpi buruk terburuk bagi investor. Dalam sekejap, Indonesia akan dipersepsikan sebagai negara dengan risiko politik yang tak terkendali.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpotensi tergelincir tajam ketika modal asing bergegas keluar. Rupiah akan berada di bawah tekanan spekulatif yang kuat, sementara kepercayaan terhadap stabilitas kebijakan nasional mulai runtuh.
Di mata lembaga pemeringkat global, kekacauan politik semacam ini bukan sekadar gangguan sementara, melainkan alarm serius terhadap keberlanjutan fiskal. Risiko penurunan peringkat utang pun membesar, membuat biaya pinjaman melonjak dan ruang gerak pemerintah menyempit. Dampaknya menjalar ke dunia nyata, mulai dari investasi macet, dunia usaha menahan napas, dan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kian nyata.
Lebih berbahaya lagi, instabilitas politik hampir selalu beriringan dengan instabilitas keamanan. Ketika parlemen tidak lagi menjadi saluran aspirasi, kemarahan publik akan mencari jalan lain dan sering kali berakhir di jalanan.
Tekanan publik yang meningkat akan menyeret Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) ke posisi sulit, yaitu harus menjaga ketertiban, sekaligus mempertahankan netralitas.
Sejarah berkali-kali membuktikan, ketika sistem politik lumpuh, konflik sosial dan kekerasan politik bukan lagi kemungkinan, melainkan ancaman nyata. Dalam kondisi seperti ini, ekonomi dan keamanan saling menyeret ke bawah, membentuk lingkaran krisis yang dapat menggerus fondasi negara.
Tinggalkan Komentar
Komentar