Periskop.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, anggaran untuk subsidi energi dalam RAPBN 2026 mencapai Rp210,1 triliun. Jumlah ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan alokasi pada APBN 2025, yakni Rp203,41 triliun.
“Untuk anggaran ketahanan energi ini cukup besar, Rp402,4 triliun, sebagian besar adalah untuk subsidi energi. Subsidi energi Rp210,1 triliun,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2026, di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (15/8).
Anggaran untuk subsidi energi tersebut memuat subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan LPG 3 kg. Selain untuk subsidi energi, Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa anggaran tersebut dialokasikan untuk insentif perpajakan sebesar Rp16,7 triliun, infrastruktur energi yang mencakup pipa gas senilai Rp4,5 triliun.
Lebih lanjut, anggaran tersebut juga untuk program listrik desa senilai Rp5 triliun, dan dukungan lainnya sebesar Rp0,6 triliun. “Kemudian, untuk energi baru dan terbarukan, itu cukup signifikan, ya. Rp37,5 triliun,” ujarnya.
Dalam RAPBN 2026, Sri Mulyani juga menargetkan lifting minyak bumi sebesar 610 ribu barel minyak per hari, lebih tinggi apabila dibandingkan dengan target lifting minyak bumi pada APBN 2025 sebesar 605 ribu barel minyak per hari.
Kemudian, untuk lifting gas dalam RAPBN 2026 ditargetkan mencapai 984 ribu barel setara minyak per hari. Angka lebih rendah apabila dibandingkan dengan target lifting gas bumi di APBN 2025 sebesar 1.005 ribu barel setara minyak per hari.
“Dengan harga minyak mentah di US$70 per barel,” kata Sri Mulyani.
Asumsi Harga Rata-rata Minyak Mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) tersebut, lebih rendah apabila dibandingkan dengan asumsi ICP pada APBN 2025, yakni senilai US$82 per barel.
Dalam Penyampaian Pengantar/Keterangan Pemerintah atas RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangannya, di Gedung Nusantara Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat, Presiden Prabowo Subianto sendiri mengatakan, pemerintah memberikan dukungan fiskal sebesar Rp402,4 triliun untuk ketahanan energi pada tahun 2026.
Presiden menggarisbawahi energi baru terbarukan (EBT) yang perlu digenjot dengan membangun pembangkit dari surya, hidro, panas bumi, hingga bioenergi.
“Indonesia harus menjadi pelopor energi bersih dunia. Kita harus capai 100% pembangkitan listrik dari energi baru dan terbarukan dalam waktu 10 tahun atau lebih cepat. Saya yakin hal ini bisa dicapai,” ujar Prabowo.
Dia juga ingin mempercepat target emisi nol bersih pada tahun 2060 atau jauh lebih cepat, sehingga seluruh rakyat Indonesia dapat menikmati energi yang terjangkau dan berkelanjutan.
Momentum Strategis
Sebelumnya, Anggota Komisi XII DPR RI Dewi Yustisiana menilai, Pidato Kenegaraan Presiden pada 15 Agustus 2025 merupakan momentum strategis untuk meninjau proyeksi kenaikan alokasi subsidi energi dibanding tahun berjalan. Di antaranya dengan melakukan reformasi kebijakan subsidi 2026 agar lebih tepat/akurasi sasaran dan selaras dengan agenda transisi energi nasional.
“Skema subsidi energi selama ini masih berbasis komoditas, sehingga sebagian besar manfaatnya dinikmati juga oleh kelompok yang tidak tepat sasaran. Ke depan, transformasi menuju skema berbasis penerima manfaat perlu dipercepat, sehingga alokasi fiskal betul-betul mengena pada kelompok rentan,” kata Dewi.
Berdasarkan dokumen usulan pemerintah, alokasi subsidi listrik tahun depan diperkirakan berada di kisaran Rp97,37–Rp104,97 triliun, meningkat dibandingkan pagu tahun 2025.
Kementerian Keuangan juga mencatat total subsidi energi dan non-energi berpotensi melampaui Rp300 triliun. Sementara Kementerian ESDM memberi catatan bahwa tanpa pengendalian efisiensi, angka tersebut dapat membengkak hingga Rp400 triliun.
Ia menambahkan, reformasi ini harus disertai penyesuaian mekanisme kompensasi energi yang mempertimbangkan kondisi sosial dan geografis masyarakat.
“Perubahan kebijakan tidak boleh memicu beban tambahan bagi masyarakat di wilayah dengan akses energi terbatas. Mekanisme kompensasi perlu adaptif terhadap disparitas infrastruktur dan daya beli,” jelasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar