Periskop.id - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menilai wacana Wahana Musik Indonesia (WAMI) untuk menagih royalti saat memutar atau menyanyikan lagu komersil pada pesta pernikahan, rawan premanisme dalam praktik penagihannya. Ia juga menilai wacana tersebut sudah tidak sesuai dengan semangat perlindungan hukum yang adil bagi masyarakat.
“Kalau begini caranya, saya lihat wacana royalti musik ini makin lama makin ngelantur. Semua sektor mau dikenain, bahkan pesta pernikahan yang jelas-jelas bersifat non-komersil. Ini sudah ngaco, dan sangat membebani masyarakat," kata Sahroni dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (15/8).
Bahkan, ia melihat beberapa musisi juga menolak jika wacananya sampai sejauh itu. “Dan jika diteruskan, penagihan royalti oleh LMK ini sangat rawan akan tindak premanisme, terlebih beberapa LMK diduga dimiliki oleh individu yang memiliki latar tindak premanisme, sangat rawan,” ujarnya.
Menurut Sahroni, kebijakan tersebut juga kurang disosialisasikan kepada publik. Akibatnya, masyarakat kaget dan merasa dipaksa tunduk pada wacana aturan baru tanpa adanya masa transisi.
“Kalau memang ada wacana aturan baru, harusnya disosialisasikan dulu dengan baik. Jangan tiba-tiba masyarakat disuguhi hal yang sifatnya memukul rata. Ini yang bikin gaduh. Jangan terlihat hanya berpihak pada kepentingan industri, sementara rakyat kecil, UMKM, sampai keluarga yang sedang menikah dibikin pusing, semuanya dikenain," imbuhnya.
Sahroni menyatakan, perlindungan hukum itu harus seimbang: hak musisi dihargai, tetapi rakyat juga jangan diperas. Pernyataan WAMI tersebut juga menjadi jawaban atas kehebohan royalti di masyarakat, apakah berlaku juga di pesta pernikahan atau tidak.
Untuk besarannya sendiri, royalti yang harus dibayarkan yakni dua persen dari biaya produksi, yang mencakup sewa sound system, backline, fee penyanyi atau penampil, dan lain-lain yang berkaitan dengan musik tersebut.
Tata Kelola
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Chusnunia meminta pemerintah untuk memperbaiki tata kelola royalti musik yang saat ini menjadi polemik di tengah masyarakat. Chusnunia menjelaskan, perbaikan tata kelola menjadi penting, terutama saat ini para pelaku usaha sedang cemas dengan risiko hukum bila memutar musik di tempat usahanya.
Chusnunia memahami, terdapat aturan terkait pemutaran musik di ruang publik seperti kafe yang mengharuskan membayar royalti kepada pemegang hak cipta. Aturan tersebut seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
“Kami menghargai hak cipta, tetapi harus dipertimbangkan juga keberlanjutan para pelaku UMKM agar dapat bertahan. Jangan sampai penerapan kebijakan royalti justru membebani para pelaku usaha,” kata pimpinan komisi yang membidangi ekonomi kreatif dan UMKM tersebut.
Selain itu, dia mengatakan, perbaikan tata kelola royalti dinilai perlu sebab turut berdampak kepada musisi di Indonesia, sehingga menimbulkan perdebatan di media sosial.
“Oleh karena itu, harus ada pembenahan di Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan LMK Nasional (LMKN) demi menciptakan sistem royalti yang adil dan akuntabel,” serunya.
Pada kesempatan berbeda, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi di Kantor PCO, Jakarta, Kamis, mengatakan, pemerintah memfasilitasi penyelesaian polemik royalti musik melalui dialog konstruktif antarpemangku kepentingan.
Hasan juga mengingatkan, sudah ada lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk memfasilitasi penghargaan atas karya seniman agar mendapat apresiasi dan imbal jasa yang layak.
Tinggalkan Komentar
Komentar