Periskop.id - Sebanyak 13 asosiasi penyelenggara haji dan umrah menolak legalisasi umrah mandiri yang tertera dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Mereka beralasan, legalisasi tersebut menimbulkan risiko tiadanya perlindungan jamaah, penipuan, serta dominasi penyelenggara umrah global.
“Kami tegas menolak legalisasi umrah mandiri. Karena bisa melepas perlindungan jamaah, membuka celah penipuan dalam dan luar negeri, serta memberi peluang besar bagi marketplace global menguasai pasar jamaah Indonesia,” kata juru bicara Tim 13 Asosiasi Penyelenggara Haji dan Umrah Muhammad Firman Taufik di Jakarta, Rabu (13/8).
Menurutnya, umrah mandiri terbukti tidak memberikan jaminan keamanan, kenyamanan dan perlindungan kepada jamaah, baik di dalam negeri maupun saat berada di Arab Saudi. Selain itu, katanya, umrah mandiri berisiko mengganggu terbentuknya ekosistem ekonomi penyelenggaraan haji dan umrah.
Dia menilai, umrah mandiri juga mengakibatkan pengeluaran umrah ke pihak luar negeri, sehingga mematikan peran pelaku resmi penyelenggara umrah.
“Seharusnya pemerintah memberikan pembelaannya kepada pelaku usaha dalam negeri dalam framing bela dan beli produk Indonesia,” kata Firman.
Warisan Umat
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) Zaky Zakaria Anshari menyebutkan, pihaknya berfokus untuk melindungi jamaah, menjaga amanah ibadah, dan menyelamatkan ekosistem ekonomi umat yang telah terbangun sejak sebelum kemerdekaan.
Adapun penyelenggaraan haji dan umrah, katanya, merupakan warisan perjuangan umat. Sejak 1912, Muhammadiyah telah membentuk Bagian Penolong Haji, NU melalui ASBIHU, PERSIS dengan Karya Imtaq, hingga lembaga zakat, majelis taklim, pesantren, tokoh-tokoh, ulama, ikut serta menjadi bagian mengelola penyelenggaraan haji dan umrah.
Selain itu, kata Zaky, sektor umroh dan haji khusus bernilai tidak kurang dari Rp30 triliun per tahun. Selama ini dikelola oleh 3.421 penyelenggara perjalanan ibadah umrah dan penyelenggara ibadah haji khusus (PPIU/PIHK) yang berizin resmi. Usaha-usaha ini diklaim menghidupi ratusan ribu pelaku usaha, ribuan mitra UMKM mulai dari penjahit ihram di daerah, katering, transportasi, hingga penginapan.
“Peran PPIU dan PIHK resmi bukan sekadar agen perjalanan. Tetapi pelindung jamaah, penopang ekonomi dan berbasis keummatan. Legalisasi umrah mandiri sangat potensial merugikan ekonomi keumatan, banyak pelaku usaha terpuruk dan pastinya ribuan mitra UMKM kolaps,” kata Zaky.
Kontra Produktif
Sebelumnya, Amphuri juga tegas meminta terminologi mandiri dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umrah yang tengah dibahas agar dihapus.
"Pengaturan mengenai jamaah umrah mandiri dalam RUU ini tidak memiliki definisi, batasan, maupun mekanisme perlindungan yang jelas," ujar Ketua Litbang Amphuri Ulul Albab di Jakarta, Sabtu.
Ulul mengatakan keberadaan pasal tersebut justru kontra produktif dengan tujuan utama perubahan Undang-Undang, yakni membentuk tata kelola haji dan umrah yang lebih baik, adaptif, dan akuntabel.
Di sisi lain, kata dia, terminologi mandiri ini berisiko membuka peluang percaloan, penyelenggaraan liar, serta merusak tatanan ekosistem penyelenggaraan umrah yang selama ini diatur melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) resmi.
"Terminologi mandiri harus dihapus dari batang tubuh RUU. Umrah harus diselenggarakan secara profesional dan bertanggung jawab melalui lembaga resmi PPIU," kata Ulul.
Menurut dia, UU Nomor 8 Tahun 2019 menempatkan jamaah sebagai subjek yang harus dilindungi, konsep mandiri justru mendorong mereka untuk menjadi pihak yang berjuang sendiri, tanpa perlindungan hukum, jaminan layanan, atau kejelasan tanggung jawab.
"Jika tetap dipertahankan, pemerintah justru membuka ruang legalisasi praktik liar yang tidak bisa diawasi, tidak bisa dijamin, dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban," kata Ulul.
Sekadar informasi, DPR RI telah mengesahkan draft RUU Haji dan Umrah menjadi usul inisiatif dalam siding paripurna pada 24 Juli 2025. Saat ini, DPR menunggu usulan RUU Haji dan Umrah dari pemerintah untuk dilakukan pembahasan dengan agenda pembicaraan Tingkat I.
Selisih 200 Ribu
Mengacu data dari Saudi Tourism Authority (STA), AMPHURI mencatat jumlah jamaah umrah asal Indonesia pada periode 2024–2025 mencapai 1,6 juta orang. Padahal, data dari aplikasi Siskopatuh Kemenag RI hanya mencatat 1,4 juta orang.
Artinya, terdapat selisih sekitar 200 ribu orang yang diduga menjalankan umrah di luar mekanisme resmi pemerintah. Selisih inilah yang menjadi alasan AMPHURI menolak pengaturan umrah mandiri dalam revisi UU Haji, sebab dikhawatirkan justru membuka celah lebih luas bagi praktik umrah non-prosedural.
Ketua Umum DPP AMPHURI Firman M Nur berharap revisi UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mampu memperkuat ekosistem layanan haji dan umrah nasional. Terlebih, perubahan regulasi itu diikuti dengan hadirnya Badan Penyelenggara Haji yang bakal menggantikan peran Kemenag sebagai sektor utama penyelenggaraan haji.
Untuk itu, Firman berharap DPR, khususnya Badan Legislasi dan Komisi VIII, memperhatikan keberlangsungan sektor swasta terkait layanan haji dan umrah dalam revisi UU tersebut.
"Umrah mandiri bukan berdampak pada kami secara signifikan sebetulnya, namun kami ingin memastikan ketentuan tentang penyelenggaraan layanan umrah melalui PPIU akan memberikan perlindungan kepada jamaah, kepastian hukum kepada jamaah," ujar dia.
Dengan tidak mengakomodir payung hukum umrah mandiri dalam UU, menurut dia, perlindungan jamaah lebih terjamin sehingga Indonesia bisa menjaga nama baik bangsa di kancah internasional, juga Saudi Arabia.
Firman menambahkan, AMPHURI juga akan mendorong agar peran asosiasi bisa dimasukkan secara eksplisit dalam RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
"Kami berusaha mengusulkan memasukkan unsur asosiasi sebagai bagian dari pengawasan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dalam undang-undang yang baru, karena sampai saat ini belum ada pasal apapun yang memasukkan peran asosiasi. Itu salah satu poin yang akan kita perjuangkan," ujar dia.
Sementara itu, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Hilman Latief menuturkan persoalan umrah mandiri bukan terletak pada boleh atau tidaknya, melainkan pada bagaimana sistem pengelolaan dan pengawasannya.
"Ini bukan soal boleh tidak boleh, tapi bagaimana sistem itu bisa dikelola, bisa dipantau, berbasis data, dan seterusnya," ujar Hilman.
Hilman menambahkan, salah satu aspek yang perlu diperkuat adalah kelembagaan dan pengawasan, mengingat masih ditemukan praktik penyalahgunaan visa hingga travel abal-abal.
"Kalau kami kuatkan kelembagaan, kita kuatkan pengawasan, maka penyalahgunaan baik dari sisi keimigrasian maupun travel-travel abal-abal bisa kita minimalisir," ujarnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar