Periskop.id – Pembenahan transportasi umum yang berkesinambungan di Jakarta dinilai bisa menjadi pelajaran untuk daerah lain. Salah satunya terkait dengan terintegrasinya layanan, yakni mikrotrans, bus, dan kereta serta kolaborasi lintas daerah.
"Kesinambungan adalah kunci. Kebijakan transportasi membutuhkan waktu lebih 10 tahun untuk berbuah," kata Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat Djoko Setijowarno di Jakarta, Senin (11/8).
Dia mengatakan, angkutan umum seperti Transjakarta 24 jam, trotoar manusiawi, hingga integrasi tarif antarmoda merupakan hasil estafet kepemimpinan yang saling melanjutkan.
Dimulai di era Gubernur Sutiyoso (2004–2007) melalui peluncuran Transjakarta koridor 1, yang merupakan sistem Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia Tenggara. Sutiyoso meletakkan fondasi hukum melalui Pola Transportasi Makro (PTM), cetak biru yang menjadi DNA pengembangan transportasi Ibu Kota.
"Tanpa terobosan ini, Jakarta mungkin masih terperangkap dalam kemacetan abadi," kata Djoko.
Selanjutnya, era Gubernur Fauzi Bowo (2007–2012), terjadi transformasi kelembagaan Transjakarta menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) memberi fleksibilitas operasional.
Kemudian, era Gubernur Joko Widodo (2012–2014), melalui Peraturan Daerah Penyelenggaraan BRT yang menjamin alokasi anggaran jangka Panjang. Kemudian peremajaan armada, dan sistem kontrak operator berbasis Service Level Agreement (SLA) menjadi standar baru.
Trotoar dan jalur sepeda juga dibenahi, ada kursi-kursi disiapkan di sejumlah trotoar bagi pejalan kaki yang akan beristirahat. Pada era ini juga diluncurkan MRT Jakarta fase 1 Lebak Bulus – Bundaran HI (15,8 kilometer).
Berikutnya, era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (2014–2017), yakni mengintegrasikan angkot ke dalam sistem BRT sebagai layanan feeder.
"Kebijakan ini menyatukan angkutan kecil dengan transportasi massal, sekaligus membuka akses bagi warga pinggiran. Membatasi gerak sepeda motor dengan melarang beroperasi di Jalan Jenderal Sudirman dan Thamrin," ujar Djoko.
Pada era ini, 13 koridor Transjakarta terbangun, jaringan BRT merentang dari Taman Mini hingga Kalideres, Lebak Bulus hingga Pulogadung. Selanjutnya, era Gubernur Anies Baswedan (2017–2022), dengan trotoar membentang sepanjang 500 km, jalur sepeda permanen menghubungkan pusat kota, dan kawasan integrasi antarmoda (seperti, Bundaran HI, CSW, Dukuh Atas) menjadi ruang hidup.
Puncaknya, layanan terpadu JakLingko yang memperluas integrasi angkutan perkotaan dengan MRT, LRT, TransJakarta, dan KRL dalam satu kartu. Kemudian, era Penjabat Gubernur Jakarta Heru Budi dilanjutkan Gubernur Pramono Anung melalui integrasi Jabodetabek sebagai satu ekosistem transportasi.
Selanjutnya, penyelesaian integrasi tarif regional menggunakan kartu JakLingko, memangkas biaya dan waktu perpindahan antarmoda. Lalu, kebijakan insentif fiskal untuk pemerintah daerah penyangga yang mengembangkan BRT feeder, dan menggratiskan 15 golongan warga Jakarta menggunakan Bus Transjakarta.
"Hasilnya, volume kendaraan pribadi masuk Jakarta turun 18% (2023–2025), dan waktu tempuh Bekasi–Jakarta berkurang 40 menit. Angkutan umum di Jakarta telah mengcover 89,5% wilayah Jakarta," ujar Djoko.
Dia mengatakan, Jakarta kini bukan lagi kota termacet di Indonesia. Berdasarkan Indeks TomTom Traffic 2024, Jakarta berada di peringkat kelima nasional dan ke-90 dunia. Capaian ini, tambah Djoko, bukan kebetulan, melainkan buah transformasi sistemik yang berjalan konsisten sejak tahun 2004.
"Tidak ada kota yang gagal membangun transportasi umum karena kurang dana, melainkan karena kurang keberanian untuk melanjutkan," tuturnya.
Perhatian Internasional
Sebelumnya, Gubernur Jakarta Pramono Anung mengatakan, sarana transportasi di Jakarta yang mengalami perbaikan mendapat perhatian dari internasional.
"Transportasi di Jakarta sekarang ini dilihat juga oleh dunia internasional yang mengalami perbaikan," ucapnya.
Hal ini dia sampaikan usai bertemu dengan Wali Kota New York dan pengelola transportasi di sana, belum lama ini. Menurut Pramono, tingkat kemacetan Jakarta lebih rendah ketimbang New York. New York tetap tercatat sebagai salah satu kota macet, sementara Jakarta berada di peringkat 90.
"Kenapa itu bisa dilakukan? Menurut saya karena beberapa perbaikan yang dilakukan, kita sekarang punya MRT, LRT, Transjakarta, Transjabodetabek, KRL dan sebagainya yang terintegrasi lebih baik," kata dia.
Pramono berharap transportasi yang kini sudah hadir di Jakarta menjadi penopang utama untuk mengatasi persoalan kemacetan di Jakarta.
Selain terkait transportasi, Pramono juga membahas tentang rencana memperbaiki ruang-ruang yang terbengkalai atau mangkrak di Jakarta. Hal ini terinspirasi "The High Line" di Kota New York.
Ruang-ruang mangkrak ini rata-rata dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan kalau bisa dikembangkan, akan membawa kebaikan bersama bagi masyarakat.
"Termasuk ruang-ruang untuk olahraga, skateboard, ruang lainnya, akan kami lakukan perbaikan," ujar dia.
Pramono mengatakan "The High Line" dulunya stasiun kereta dan terbengkalai. Kemudian, pemerintah mengubah tempat itu menjadi ruang terbuka hijau.
"Terus terang itu menginspirasi untuk menjadi ruang terbuka hijau," tandasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar