periskop.id - Data dari Pew Research Center dan Transparency International menunjukkan adanya paradoks antara tingkat religiusitas dan praktik korupsi di Indonesia. Meskipun Indonesia tercatat sebagai negara dengan proporsi penduduk yang paling rajin berdoa, dengan 95% populasi, posisinya dalam Corruption Perceptions Index (CPI) masih berada di peringkat 99 dengan skor 37. Skor ini mengindikasikan bahwa tingkat persepsi korupsi di Indonesia tergolong tinggi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa tingginya frekuensi berdoa tidak serta-merta berkorelasi positif dengan rendahnya tingkat korupsi di suatu negara. Hal ini berbeda dengan negara-negara yang menempati posisi teratas dalam hal kebersihan dari korupsi, seperti Denmark (skor CPI 90), Finlandia (CPI 88), dan Singapura (CPI 84), yang tidak termasuk dalam daftar 10 besar negara paling rajin berdoa.

Di negara-negara tersebut, penekanan lebih pada sistem yang transparan, penegakan hukum yang kuat, dan akuntabilitas pejabat publik menjadi faktor utama dalam menekan korupsi. Oleh karena itu, integritas sistem dan budaya anti-korupsi berperan lebih signifikan daripada tingkat religiusitas masyarakat semata.

Kesenjangan antara praktik keagamaan dan realitas korupsi di Indonesia pernah disinggung oleh Ahmad Muttaqin, Sekretaris Majelis Litbang PP Muhammadiyah, dalam acara Muhammadiyah Ramadan Preaching Series di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, seperti yang dilaporkan laman resmi Muhammadiyah, Kamis, 14 Maret 2024.

Menurut Muttaqin, agama di Indonesia cenderung bersifat dangkal dan belum terinternalisasi sebagai pedoman hidup. 

“Praktik beragama di Indonesia baru sebatas memiliki agama, belum sampai pada tahap menjadi religius,” ujarnya.

Ia juga menyoroti praktik beragama yang bersifat transaksional. 

“Orang beragama di Indonesia masih berpikir dalam kerangka supply and demand,” kata Muttaqin.

Fenomena ini terlihat jelas di kalangan kelompok keagamaan menengah atas, di mana praktik seperti jual beli doa terjadi.

Muttaqin juga menggarisbawahi paradoks lain di kalangan umat Islam, di mana sikap toleran terhadap pemeluk agama lain tidak diiringi dengan toleransi terhadap sesama Muslim. Kondisi ini menjadi tantangan bagi gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah. 

Dia menyarankan agar budaya beragama Muhammadiyah yang tidak membatasi pemahaman pada teks semata dihidupkan kembali, dengan menekankan bahwa menjadi religius yang bijak adalah tanggung jawab individu dan organisasi.