Periskop.id – Pemerintah Indonesia tercatat pernah mengalihkan sejumlah aset negara yang strategis kepada pihak swasta, baik melalui skema penjualan saham mayoritas maupun kerja sama dalam bentuk kontrak. Langkah-langkah ini sebagian besar dilakukan sebagai respons terhadap berbagai kondisi ekonomi dan kebijakan investasi yang berlaku.
Berikut adalah beberapa aset strategis negara yang dialihkan kepada pihak swasta:
1. Tambang Mineral di Papua (Freeport)
Kehadiran PT Freeport Indonesia, anak perusahaan dari Freeport-McMoRan asal Amerika Serikat (AS), dimulai setelah ditemukannya cadangan Ertsberg di Papua pada tahun 1960-an. Masuknya perusahaan asing ini dimungkinkan oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967. Pada tahun yang sama, Presiden Soeharto meneken Kontrak Karya (KK) I dengan Freeport. Setelah penemuan cadangan emas Grasberg pada 1988, KK II ditandatangani pada 1991, yang memperpanjang izin operasi dan memperluas area konsesi hingga lebih dari 2 juta hektar.
2. Indosat
Pada tahun 1980, pemerintah mengakuisisi seluruh saham asing di Indosat. Setelah perusahaan ini go public pada 1994, pemerintah tetap memegang 65% saham. Namun, pada tahun 2002, pemerintah melepas sebagian besar sahamnya kepada publik dan Singapore Technologies Telemedia. Pelepasan ini membuat kepemilikan pemerintah atas Indosat menurun drastis menjadi 15%.
3. Bank Central Asia (BCA)
Akibat krisis moneter 1998, BCA mengalami bank rush dan diambil alih oleh pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Setelah rekapitalisasi pada 1999, pemerintah menguasai 92,8% saham bank. Namun, pada 2002-2003, mayoritas saham (51%) BCA dijual kepada konsorsium swasta, yakni Farindo Investment.
4. Hotel Indonesia
Hotel Indonesia dibangun oleh pemerintah pada 1962 untuk menyambut Asian Games dan dikelola oleh PT Hotel Indonesia Natour. Pada tahun 2004, pengelolaannya dialihkan kepada Djarum Group melalui skema Build Operator Transfer (BOT). Skema ini kemudian berubah menjadi kepemilikan penuh swasta oleh Grand Indonesia, anak usaha Djarum Group. Setelah renovasi besar, hotel ini kembali beroperasi pada 20 Mei 2009 dengan nama Hotel Indonesia Kempinski.
5. Penjualan LNG dari Blok Tangguh
Pada tahun 2002, Indonesia meneken kontrak ekspor gas alam cair (LNG) dari Blok Tangguh ke Tiongkok. Kontrak ini menuai kontroversi karena harga gas ditetapkan tetap US$2,4/mmBtu, tanpa mengikuti harga pasar global. Kontrak ini diperkirakan merugikan negara hingga Rp700triliun. Setelah dilakukan negosiasi ulang pada 2006, harga gas berhasil dinaikkan menjadi US$3,35/mmBtu.
Tinggalkan Komentar
Komentar