periskop.id - Demi mengatasi tekanan fiskal dan mencegah pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2025, Ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mendorong pemerintah agar segera memperkuat sisi penerimaan negara. 

Defisit yang diproyeksikan sebesar 2,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dinilai berisiko membebani keberlanjutan anggaran nasional dalam jangka panjang.

Menurut Achmad, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperluas dan memperkuat basis pajak melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Ia menyebutkan sektor digital, jasa profesional, serta masyarakat berpenghasilan tinggi sebagai target penting dalam perluasan tersebut. 

“Pemerintah perlu memperluas basis pajak, terutama dari sektor digital, jasa profesional, serta kelompok masyarakat berpendapatan tinggi,” ujar Achmad seperti dilansir dari Antara, Kamis (24/7).

Di samping pajak, sumber penerimaan negara lain juga harus dioptimalkan. Achmad menegaskan perlunya peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor sumber daya alam dan pertambangan mineral dan batu bara (minerba). 

“Kedua, optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam dan minerba,” katanya.

Langkah ketiga yang ia usulkan adalah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan insentif pajak. Dengan belanja perpajakan yang saat ini mencapai Rp372 triliun, Achmad menilai banyak insentif belum efektif dan cenderung kurang tepat sasaran. 

Lebih lanjut, ia menyoroti rencana besar pemerintah untuk menjalankan program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih. Menurutnya, program MBG tahap awal saja memerlukan dana Rp71 triliun dan bisa membengkak hingga Rp400 triliun. 

“Tanpa reformasi pajak dan efisiensi belanja, ini hanya akan menambah beban utang,” katanya.

Demi menjaga stabilitas fiskal, Achmad menekankan pentingnya disiplin anggaran dan penataan ulang belanja negara secara komprehensif. Ia menyarankan agar target defisit APBN diturunkan di bawah 2% pada jangka menengah. Belanja yang dianggap tidak produktif dan bersifat seremonial harus ditinjau kembali atau bahkan dihapus. 

“Program yang tidak produktif, belanja barang kementerian/lembaga yang bersifat ceremonial, hingga berbagai proyek mercusuar yang tidak memberi multiplier effect ekonomi harus dikurangi atau dihapus,” tegasnya.

Achmad memperingatkan bahwa pembiayaan defisit melalui utang berpotensi menambah beban fiskal negara di masa depan. Pasalnya, pemerintah harus menanggung bunga dan pokok utang yang terus membesar.

“Ketika defisit dibiayai utang, maka negara harus membayar bunga dan pokok utang yang semakin membesar di tahun-tahun berikutnya,” tuturnya.

Ia juga menyoroti realisasi pendapatan negara yang diprediksi hanya akan mencapai Rp2.865,5 triliun, atau 95,4% dari target awal Rp3.005,1 triliun. Perbedaan antara target dan realisasi ini turut menjadi penyebab utama pelebaran defisit.

Selain itu, total utang negara yang telah menembus Rp10.269 triliun atau 40,19% dari PDB pada 2024, menurut Achmad, menjadi indikator tekanan fiskal yang serius. Ditambah lagi dengan rasio pajak Indonesia yang stagnan di kisaran 9–10%, jauh di bawah standar negara-negara OECD. 

“Memang masih di bawah Maastricht Treaty 60%, tetapi perlu diingat bahwa tax ratio Indonesia masih di bawah 10%, sedangkan negara-negara OECD yang rasionya 60% memiliki tax ratio di atas 25%. Artinya, kemampuan bayar utang kita jauh lebih rendah,” pungkasnya.