periskop.id - Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya. Kwik Kian Gie, tokoh ekonomi, pendidikan, dan politik yang dikenal luas karena sikap kritis dan integritasnya, berpulang dalam usia 90 tahun pada Senin malam, (28/7). 

Kabar kepergiannya sontak menggema, meninggalkan duka mendalam di tengah masyarakat, terutama di kalangan akademisi dan ekonom.

Ungkapan belasungkawa datang dari berbagai tokoh nasional, termasuk dari Sandiaga Salahuddin Uno yang menyebut Kwik sebagai "mentor yang tak pernah lelah memperjuangkan kebenaran." 

Mengutip Antara, Selasa (29/7)Lahir di Juwana, Jawa Tengah, pada 11 Januari 1935, Kwik menunjukkan semangat belajar sejak muda. Ia menempuh pendidikan tinggi di Universitas Indonesia dan melanjutkan studi di Nederlandse Economische Hogeschool (kini Erasmus University Rotterdam), sebuah lembaga bergengsi yang memperkaya pandangan ekonominya.

Kariernya dimulai sebagai staf KBRI di Den Haag pada 1963, dan berlanjut ke berbagai jabatan strategis di sektor bisnis dan keuangan baik di Belanda maupun Indonesia. 

Perjalanan panjang itu tidak hanya membentuk keahliannya, tapi juga memberi perspektif global yang kelak memengaruhi sikapnya terhadap ekonomi nasional.

Kembali ke Tanah Air, Kwik memilih jalur pendidikan dan mendirikan lembaga-lembaga seperti LM-FEUI dan Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII) bersama Djoenaedi Joesoef dan Kaharuddin Ongko. Ia mengabdikan dirinya untuk mencetak generasi baru pemikir ekonomi dan manajer bisnis Indonesia. Namun kiprahnya bukan semata di ruang akademik. 

Di era Orde Baru, Kwik tampil sebagai salah satu suara kritis lewat tulisan-tulisan tajam di media nasional. Ia menjadi figur yang menjaga nalar publik, berani bicara di tengah dominasi pemerintah, bahkan ketika banyak intelektual memilih diam atau merapat ke penguasa.

Menurut Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, Kwik adalah figur intelektual yang selalu menjalankan peran informal check and balances. 

“Kita kehilangan tokoh dan ekonom hebat, yang peranannya besar untuk koreksi dan check and balances bagi kebijakan ekonomi,” ujarnya dalam refleksi atas kepergian Kwik.

Didik mengingat, pada era 1980-an masih sedikit kaum terpelajar yang berani bicara. Namun Kwik, dengan latar pendidikan kuat dari Erasmus, tampil menjadi suara yang didengar. 

“Pemikirannya dan kritiknya di media massa sangat berpengaruh,” ungkap Didik.

Bahkan ketika para ekonom lain berkompromi dengan pemerintah Orde Baru, Kwik memilih tetap berada di luar. Ia tergabung dalam “Kelompok Ekonomi 30” bersama nama besar seperti Rizal Ramli dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, aktif memberikan pandangan berbasis bukti akademik meski sering diabaikan.

Kiprah politiknya dimulai di PDI, lalu menjabat Wakil Ketua MPR pada 1999, dan menjadi Menko Ekuin di era Presiden Abdurrahman Wahid. Ia kemudian ditunjuk sebagai Kepala Bappenas pada pemerintahan Megawati, menjabat hingga 2004 sebelum digantikan oleh Sri Mulyani.

Namun, jabatan tidak mengubah prinsipnya. Ia pernah mengancam mundur dari Bappenas jika pemerintah tetap memperpanjang utang konglomerat bermasalah. Kwik menilai kebijakan seperti itu merugikan rakyat, dan ia tak segan menantang arus demi menjaga integritasnya.

Pandangan Kwik tentang ekonomi sangat dipengaruhi oleh semangat kedaulatan dan keadilan sosial. Ia menolak subordinasi terhadap IMF dan mengkritik keras konglomerat hitam yang hidup dari lisensi negara tapi tidak memberi manfaat ke rakyat banyak. 

“Harus ada kewaspadaan terhadap jebakan utang luar negeri,” tegas Didik mengutip pandangan Kwik.

Bagi Kwik, BUMN adalah komponen strategis ekonomi nasional. Ia menilai separuh ekonomi Indonesia bergantung pada BUMN dan karena itu harus dijaga, bukan diprivatisasi secara serampangan. 

“Penting untuk menjaga BUMN dan aset strategis bangsa. Apa relevansinya dengan kondisi sekarang, Danantara tidak boleh gagal,” ujar Didik.

Pemikiran dan keberanian Kwik tetap hidup dalam karya dan tulisan-tulisannya. Ia menjadi figur langka yang selalu berpikir dengan nalar tajam dan berbicara dengan nurani yang jernih. Di tengah arus kompromi, Kwik adalah pengingat bahwa kebijakan ekonomi harus dilandasi keberpihakan dan integritas.