periskop.id - Jika membayangkan bagaimana di masa modern penguburan manusia yang telah meninggal adalah tindakan normal, mungkin terbesit pertanyaan kapan pertama kali spesies kita melakukan tindakan beradab ini?

Jawabannya ada di rentang waktu lebih dari 300 ribu tahun lalu, di lorong gelap gua Rising Star di Afrika Selatan, di mana sekelompok Homo naledi melakukan sesuatu yang tak biasa: mereka menguburkan sesama yang telah meninggal. 

Praktik ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah tanda awal dari pemikiran simbolis—bahwa kematian bukanlah akhir mutlak. Dengan otak yang hanya sepertiga ukuran manusia modern, Homo naledi memicu perdebatan besar: mungkinkah pemahaman tentang kematian sudah tumbuh pada spesies dengan kapasitas kognitif terbatas?

Mengutip NewScientist, temuan ini berasal dari tim peneliti yang dipimpin oleh Lee Berger dari University of the Witwatersrand. Mereka menemukan sisa-sisa tulang Homo naledi di ruang gua yang dalam dan sulit diakses, menunjukkan bahwa tubuh-tubuh tersebut sengaja ditempatkan di sana, bukan akibat proses alam atau peristiwa kecelakaan. 

Penempatan yang penuh perhitungan itu menggambarkan kemungkinan adanya ritual atau penghormatan terhadap yang telah tiada.

Apa yang mendorong spesies kuno untuk mulai menguburkan jenazah? 

Para peneliti berspekulasi bahwa tindakan itu lahir dari rasa kehilangan, hubungan sosial yang kuat, dan mungkin—awal mula spiritualitas. Mengubur jenazah memungkinkan komunitas manusia purba merawat memori, menandai tempat, dan mungkin melindungi jasad dari predator. Ini bukan hanya logistik, melainkan ekspresi kompleks tentang eksistensi dan makna.

Menariknya, Homo naledi bukan satu-satunya. Neanderthal dan Homo sapiens juga diketahui melakukan penguburan, bahkan menghias kuburan dengan peralatan atau bunga. Namun Homo naledi hidup jauh lebih awal dan secara evolusioner berada di jalur berbeda. Temuan mereka memberi petunjuk bahwa kesadaran tentang kematian bisa jadi berkembang pada lebih dari satu cabang hominin.

Kontroversi muncul ketika sebagian ahli meragukan kapabilitas Homo naledi yang berotak kecil untuk menjalankan ritual. 

Namun pembaruan data yang diterbitkan tahun ini membuat beberapa peninjau ilmiah mengubah pendapatnya. Bahkan John Hawks dari University of Wisconsin-Madison menyebut perubahan sikap ini sebagai fenomena langka.

Simbolisme penguburan menjadi jendela untuk memahami bagaimana manusia purba mulai merangkai makna dari hidup dan mati. Proses ini mungkin melibatkan rasa takut, kasih sayang, atau keinginan untuk mempertahankan keterikatan. Saat tubuh diletakkan di gua-gua yang tersembunyi, terciptalah ruang perenungan yang mungkin menjadi awal dari konsep roh, jiwa, atau kehidupan setelah kematian.

Dalam konteks evolusi budaya, praktik ini membuka babak baru. Penguburan bukan hanya artefak fisik, tetapi jejak pemikiran. Ia menandakan bahwa manusia purba mulai melihat dunia lebih dari sekadar materi, dan mulai menjalin narasi tentang identitas, komunitas, dan transendensi.