periskop.id - Centre of Reform on Economics (CORE) memperkirakan Indonesia bisa kehilangan sekitar US$398 juta atau Rp6,16 triliun, dari kebijakan bea masuk nol % terhadap produk-produk dari Amerika Serikat (AS).

Direktur Riset Bidang Makroekonomi, Kebijakan Fiskal dan Moneter CORE Akhmad Akbar Susamto menjelaskan, penghitungan potensi penerimaan negara yang hilang ini didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu. Salah satunya adalah penggunaan data tahun 2024, ketika tarif rata-rata impor barang dari AS ke Indonesia adalah 9,2%.

“Dengan kebijakan bea masuk 0%, perkiraan bea masuk yang hilang mencapai US$398 juta atau sekitar Rp6,16 triliun, dengan asumsi rata-rata nilai kurs pada 2024 sebesar Rp15.838 per dolar AS,” kata Akbar dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (24/7). 

Selain bea masuk impor, Akbar juga menyoroti potensi dampak negatif dari kebijakan protektif Presiden AS Donald Trump, terhadap kinerja ekspor Indonesia.

Dengan adanya tarif baru sebesar 19% yang diberlakukan AS, ekspor Indonesia diperkirakan akan menurun. Penurunan ini secara langsung akan melemahkan kinerja perusahaan-perusahaan di dalam negeri, yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah pajak yang dapat dipungut pemerintah.

Akbar menyebut pada 2024, komoditas ekspor utama Indonesia mencakup kebutuhan pokok (energi dan pangan), bahan baku industri, serta produk teknologi tinggi dan kesehatan. Kebijakan penghapusan tarif impor ini merupakan bagian dari kesepakatan dagang baru antara Indonesia dan AS.

Sepertid iketahui, Indonesia berhasil meminta AS menurunkan tarif untuk produk-produknya dari 32% menjadi 19%. Tarif 19 % ini saat ini lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand (36%), Laos (40%), Malaysia (25%), dan Vietnam (20%).

Sebagai imbalannya, Indonesia akan menghilangkan hampir semua tarif untuk produk-produk AS yang masuk ke pasar Indonesia. Kebijakan ini mencakup lebih dari 99% barang dari berbagai sektor. Termasuk sektor industri, makanan, maupun pertanian yang diekspor AS ke Indonesia.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso sebelumnya menyatakan tarif nol% tersebut bakal memperkuat Indonesia sebagai tujuan investasi, karena dinilai lebih menarik untuk relokasi industri. Kondisi ini diyakini membuka peluang baru bagi penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global.

“Tarif impor nol% untuk produk-produk AS saya kira tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Apalagi kalau produk-produknya memang sifatnya bukan produk-produk yang akan berkompetisi dengan produk yang kita produksi di dalam negeri,” kata Susiwijono.

Lanjut Negosiasi

Pemerintah Indonesia mengaku terus melanjutkan proses negosiasi dengan Amerika Serikat (AS), untuk menekan tarif impor sejumlah komoditas strategis nasional di bawah 19% hingga 0%. Sejumlah produk yang sedang diajukan dalam negosiasi tarif tersebut mencakup komoditas sumber daya alam yang tidak dapat diproduksi oleh AS.

"Produk-produk itu antara lain kelapa sawit, kopi, kakao, produk agro, dan juga produk mineral lainnya termasuk juga komponen pesawat terbang dan juga komponen daripada produk industri di kawasan industri tertentu seperti di free trade zone," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (24/7). 

Menurutnya, meski saat ini AS telah menerapkan tarif impor 19% terhadap produk asal Indonesia, masih terdapat ruang negosiasi untuk penurunan tarif. Khususnya untuk sejumlah produk yang dinilai strategis dan tidak bersaing langsung dengan industri domestik AS.

Airlangga mengungkapkan, AS juga memperhatikan perlakuan tarif dari mitra dagang lain seperti Uni Eropa, yang melalui perjanjian Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) telah memberikan tarif 0% untuk minyak kelapa sawit mentah (CPO) asal Indonesia.

"Amerika juga melihat bahwa Eropa memberikan kita CPO itu 0% dalam IEU-CEPA, jadi beberapa itu menjadi tolok ukur," serunya. 

Untuk diketahui, sebelumnya melalui laman resmi Gedung Putih, AS dan Indonesia telah menyepakati kerangka kerja Agreement on Reciprocal Trade, sebagai upaya memperkuat hubungan ekonomi bilateral kedua negara.

Dalam perjanjian tersebut, Indonesia disebut akan menghapus sekitar 99% hambatan tarif untuk berbagai produk industri dan pertanian asal AS. Sebagai imbalannya, AS akan menetapkan tarif timbal balik sebesar 19% untuk produk asal Indonesia dan membuka peluang pengurangan tarif lebih lanjut, terhadap komoditas yang tidak tersedia atau tidak diproduksi secara domestik di AS.

Selain itu, kedua negara juga berkomitmen menyelesaikan berbagai hambatan non-tarif yang mempengaruhi perdagangan dan investasi bilateral. Termasuk pembebasan persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk sejumlah barang asal AS, pengakuan sertifikasi Badan Pengawas Obat dan Makanan AS atau Food and Drug Administration (FDA) untuk produk kesehatan dan farmasi, serta penanganan isu-isu kekayaan intelektual dan prosedur penilaian kesesuaian (conformity assessment).

Dalam konteks perdagangan digital, Indonesia juga menyatakan komitmennya untuk memberikan kepastian terkait transfer data lintas batas. Kemudian, menghapus bea masuk atas produk digital (intangible products), serta mendukung moratorium bea cukai atas transmisi elektronik di forum Organisasi Perdagangan Bebas (WTO).

"Secara umum, joint statement (pernyataan bersamamenggambarkan kesepakatan yang telah dibahas, dan Amerika Serikat menunjukkan poin-poin penting dan komitmen politik baik Indonesia maupun Amerika yang akan menjadi dasar perjanjian perdagangan nanti. Nah tentu akan dilanjutkan dengan pembahasan lanjutan yang menyangkut kepentingan kedua negara," terang Airlangga.