periskop.id - Siapa sangka kalau salah satu sumber terbesar pencemaran mikroplastik ternyata bukan kantong belanja atau sedotan plastik, melainkan ban kendaraan bermotor. Setiap beberapa tahun, permukaan ban aus dan harus diganti, namun material yang hilang itu tak serta-merta lenyap—sebagian besar justru terbawa hujan dan berakhir di selokan, sungai, dan laut. 

Mengutip PBS NewsHour, menurut para ahli kimia lingkungan dari University of Mississippi, partikel mikroplastik ban ini membawa senyawa kimia berbahaya yang tak hanya mengancam kehidupan akuatik tapi juga manusia yang mengonsumsinya.

Para peneliti menjelaskan bahwa partikel aus dari ban menyumbang sekitar 45% dari total mikroplastik yang ditemukan di darat dan air. 

Hewan seperti ikan trout pelangi dan salmon coho diketahui mati sebelum sempat berkembang biak, karena paparan senyawa beracun dari ban—terutama senyawa 6PPD-Q, turunan dari bahan tambahan ban bernama 6PPD. 

“Lebih dari separuh salmon coho yang kembali ke sungai-sungai di Washington tewas sebelum bertelur akibat senyawa ini,” ungkap studi tahun 2020.

Paparan senyawa ban tidak hanya menyerang satwa air. Studi di China menemukan 6PPD-Q (residu zat pelindung yang mencegah karet rusak akibat paparan ozon dan oksidasi) dalam urine anak-anak dan orang dewasa, mengindikasikan risiko bagi manusia yang tinggal dekat jalan raya. Penelitian lebih lanjut menunjukkan senyawa ini bisa merusak organ tubuh seperti hati, paru-paru, dan ginjal. 

Tim dari Oxford, Mississippi bahkan menemukan lebih dari 30.000 partikel ban dalam 24 liter air limpasan hujan di area jalan dan parkir.

Sebagai respons, Dewan Teknologi dan Regulasi Interstate di AS merekomendasikan pengembangan alternatif bahan kimia untuk ban demi mengurangi pencemaran 6PPD-Q. Meski begitu, industri ban menyatakan belum ada pengganti yang layak secara teknis dan ekonomis. 

Untuk sementara, para peneliti fokus mencari cara menyaring partikel sebelum mencapai aliran air, dan pendekatan alami menjadi kunci utama.

Di University of Mississippi, tim peneliti menguji sistem biofiltrasi berbasis bahan limbah pertanian, seperti serbuk kayu pinus dan biochar (karbon aktif dari sekam padi yang diproses dengan pemanasan rendah oksigen). Hasilnya cukup menjanjikan, hingga 90% partikel ban bisa tersaring dari aliran air hujan yang mengalir di Oxford. 

“Material seperti biochar memiliki permukaan luas dan pori-pori mikro, serta daya serap tinggi dengan biaya rendah,” ujar salah satu peneliti.

Filter ini dipasang pada mulut saluran drainase dengan metode kantong filter. Setelah dua kali hujan dalam dua bulan, konsentrasi partikel ban dalam air jauh lebih rendah. Struktur partikel ban yang memanjang dan bergerigi memungkinkan mereka terjebak dalam jaringan pori filter alami. 

Namun seperti filter lainnya, biofilter ini perlu diganti secara berkala dan dibuang dengan aman agar tidak mencemari ulang.

Para ilmuwan percaya bahwa pendekatan ini bisa diperluas secara komunitas, karena bahan filter berasal dari limbah pertanian yang murah dan tersedia lokal.