periskop.id - Percaya atau tidak, kecerdasan buatan (AI) telah secara agresif merasuk ke dalam pendidikan dan praktis kegiatan medis di berbagai belahan dunia. Lebih dari sekadar bahan bacaan medis bagi para pengguna awam, ilmu kedokteran pun diam-diam mulai dimanjakan pintarnya AI.
Mengutip Fortune, ketika ChatGPT mulai dikenal publik beberapa tahun lalu, Lloyd B. Minor—ahli bedah sekaligus dekan Stanford School of Medicine—menguji kemampuannya dengan menanyakan soal superior canal dehiscence syndrome, sebuah kondisi langka pada telinga bagian dalam yang ia temukan sendiri. Hasil jawaban dari ChatGPT bukan hanya akurat dan logis, tapi juga setara dengan tulisan Minor sendiri.
“Cara ia menyerap informasi dan menyajikannya sangat luar biasa. Saya sadar ini bukan sekadar kemajuan bertahap, ini adalah perubahan mendasar dalam cara kita mengakses dan memahami ilmu pengetahuan,” ujar Minor.
Di ranah riset medis, dampak AI paling terasa lewat model seperti AlphaFold2 dari Google DeepMind. Sejak diperkenalkan pada 2020, model ini berhasil memprediksi struktur 200 juta protein dan mengantar para penciptanya meraih Nobel.
Ini membuka jalan bagi obat-obatan baru seperti terapi untuk idiopathic pulmonary fibrosis yang kini telah mencapai uji klinis fase dua. Seperti yang disebutkan dalam jurnal Nature, AI membawa efisiensi dan skala baru dalam pencarian senyawa aktif.
Tak hanya di bidang farmasi, AI juga menunjukkan kemampuannya dalam diagnosis. Tim dari Cambridge berhasil menciptakan model yang lebih akurat dalam memprediksi progresi Alzheimer dibanding tes klinis. Harvard mengembangkan sistem yang mampu mendeteksi berbagai jenis kanker dan memprediksi tingkat kelangsungan hidup pasien.
Sementara itu, DeepMind meluncurkan AlphaGenome untuk membantu penelitian genetika dengan cara menganalisis dampak mutasi DNA terhadap regulasi gen.
Dalam praktik medis sehari-hari, AI mulai memainkan peran krusial di balik layar. Menurut Wiljeana Glover dari Babson College, bagian administratif seperti merangkum rekam medis kompleks atau membuat dokumen hasil konsultasi kini bisa ditangani oleh model bahasa besar.
“Tugas administratif yang bisa kita bebaskan dari beban klinisi, itulah area di mana AI melaju paling cepat,” jelasnya.
Pekerjaan administratif menyita sekitar 33,4% waktu dokter, bahkan sering dikerjakan di luar jam kerja resmi. Dengan bantuan AI, beban ini bisa dikurangi sehingga dokter lebih fokus pada pasien. Misalnya, mereka bisa menjaga kontak mata dengan pasien saat konsultasi alih-alih sibuk mengetik catatan. Akses informasi yang lebih baik pun membantu dokter membuat keputusan pengobatan secara lebih cepat dan akurat.
AI juga makin terintegrasi dengan perawatan kronis melalui aplikasi dan perangkat wearable. Dengan pemantauan kesehatan secara real-time, pasien dengan hipertensi atau diabetes bisa mendapatkan perhatian berkelanjutan. Radiologi menjadi bidang yang sangat terbantu. AI memperjelas citra medis, mendeteksi kelainan, dan membantu dokter memahami perubahan halus yang sebelumnya luput teramati.
Perubahan ini memicu revisi kurikulum kedokteran. George Washington School of Medicine mulai membuka mata kuliah tentang AI, dan Icahn School of Medicine memberikan akses ke ChatGPT Edu untuk semua mahasiswanya.
Di Stanford, Minor menjelaskan bahwa mereka sedang merombak kurikulum untuk mengintegrasikan AI secara sistematis.
“Kami ingin jadi pelopor, dan meskipun tak meninggalkan fondasi utama pendidikan kedokteran, cara dan kontennya harus dikaji ulang secara bijaksana," katanya.
AI bahkan menjadi alat pelatihan langsung. Sebuah program simulasi bedah laparoskopi yang dikembangkan oleh NJIT dan Robert Wood Johnson Medical School terbukti mampu mengevaluasi keterampilan mahasiswa sama baiknya, bahkan lebih baik, dibanding evaluator manusia. Ini menandai lahirnya paradigma baru dalam pendidikan kedokteran.
Meski menjanjikan, penggunaan AI dalam medis tetap punya tantangan. Obat-obatan hasil rancangan AI harus melalui uji lab dan mendapat izin resmi. Dokumen medis yang dihasilkan AI bisa saja salah, dan algoritma kadang bias terhadap kelompok tertentu karena data latih yang tidak seimbang. Masalah privasi pun mencuat.
Manusia mungkin mulai bergerak dengan hati-hati pada adaptasi ilmu kedokteran pada AI ini. Tapi yang pasti, cara pasien mencari dan menerima perawatan akan sangat berubah oleh AI.
Tinggalkan Komentar
Komentar