periskop.id – Liburan sekolah menjadi momen strategis dalam mendorong pertumbuhan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Dalam acara Power Lunch bertajuk “Peluang Bisnis di Musim Liburan Sekolah” yang digelar Rabu (23/7) di Midaz, Senayan Golf, terungkap bahwa masyarakat kini tidak lagi menjadikan destinasi sebagai satu-satunya daya tarik dalam berwisata. Sebaliknya, pengalaman perjalanan justru semakin menjadi prioritas.
“Kalau dulu menyebutkan tempat, makin ke sini makin banyak yang dicari adalah experience. Kalau dulu cari moda transportasi dihitung yang paling efisien untuk sampai di tempat, sekarang perjalanan itu pun menjadi bagian dari experience,” ungkap Suwandi Ahmad, Chief Data Officer Lokadata, dalam paparannya kepada media.
Ia mencontohkan, generasi saat ini cenderung memilih kereta panoramic atau bus sleeper yang menawarkan fasilitas layaknya hotel berbintang, ketimbang sekadar moda transportasi tercepat. “(Transportasi) yang lambat gapapa, asal isinya kayak hotel berbintang, misalnya fasilitas sleeper dan lain sebagainya,” tambah Suwandi.
Survei Lokadata menunjukkan bahwa dalam struktur pengeluaran wisatawan, akomodasi menempati prioritas tertinggi dengan 31%, disusul transportasi sebesar 24%, aktivitas wisata 23%, kuliner lokal 19%, dan oleh-oleh hanya 2%. Dengan proporsi hampir seperempat dari total pengeluaran, biaya transportasi terbukti menjadi elemen penting dan nyaris setara dengan pengeluaran untuk akomodasi.
Suwandi juga menjelaskan bahwa transportasi merupakan sektor dalam pariwisata yang permintaannya bersifat inelastis untuk kalangan anak muda. Artinya, kenaikan tarif transportasi di tengah lonjakan harga BBM tidak berdampak signifikan terhadap permintaan wisata. Hal ini disebabkan oleh penggunaan sistem cicilan seperti paylater.
“Sebenarnya nggak ada isu soal harga (transportasi), karena budget selalu tersedia buat anak-anak muda. Mereka itu sudah mengenal paylater, mengenal pola-pola pembelanjaan secara kredit, sehingga isu-isu soal kenaikan BBM itu tidak berlaku buat mereka,” jelasnya kepada Periskop.
Dibandingkan dengan transportasi, Suwandi menjelaskan bahwa tarif pada sektor akomodasi seperti perhotelan dan penginapan justru sangat berpengaruh terhadap preferensi masyarakat dalam berwisata. Namun, hal ini tidak serta-merta membuat masyarakat berhenti berwisata, melainkan mendorong mereka untuk mencari alternatif penginapan yang lebih efisien secara biaya.
“Yang berlaku justru adalah ketika ada kenaikan harga hotel. Mereka bergeser, tapi bukan minat liburannya, tapi bergeser ke hunian-hunian yang lebih efisien,” pungkas Suwandi.
Tinggalkan Komentar
Komentar