periskop.id - Semakin dekatnya rencana misi ke Mars, muncul pertanyaan besar: mungkinkah manusia bisa hamil dan melahirkan di luar angkasa? Perjalanan pulang-pergi ke Planet Merah bisa berlangsung cukup lama untuk memungkinkan kehamilan penuh. Bagaimana pandangan ilmu pengetahuan?
Dikutip dari Science Alert, secara biologis, kehamilan adalah rangkaian tahap kritis yang harus dilalui secara berurutan dan tepat. Di Bumi, peluang keberhasilan tiap tahap bisa diperkirakan melalui riset klinis. Namun menurut Arun Vivian Holden, Profesor Emeritus Biologi Komputasi dari University of Leeds, hal ini mungkin berbeda jika terjadi di luar angkasa.
“Penelitian saya menelusuri bagaimana tahapan kehamilan dipengaruhi oleh kondisi ekstrem ruang antarbintang,” ujarnya.
Keadaan mikrogravitasi saat penerbangan luar angkasa memang dapat membuat proses pembuahan terasa janggal, namun tidak secara langsung mengganggu perkembangan embrio yang sudah berhasil menempel di dinding rahim.
Masalah sebenarnya muncul saat proses persalinan dan perawatan bayi dimulai. Tanpa gravitasi, cairan dan tubuh melayang bebas, membuat kegiatan melahirkan dan menyusui jadi lebih rumit dibandingkan di Bumi.
Walau janin dalam kandungan juga berkembang dalam kondisi mengambang di cairan amnion—yang mirip dengan simulasi mikrogravitasi yang digunakan astronaut saat pelatihan—gravitasi bukan satu-satunya tantangan. Ancaman yang lebih berbahaya berasal dari radiasi kosmik: partikel energi tinggi yang bisa menembus tubuh manusia dan merusak sel hingga ke DNA.
“Jika radiasi kosmik mengenai DNA, mutasi bisa terjadi dan meningkatkan risiko kanker,” jelas Holden.
Tahap paling rentan dalam kehamilan adalah bulan pertama setelah pembuahan, ketika sel embrio sedang aktif membelah dan membentuk jaringan awal. Jika saat itu terjadi paparan radiasi kuat, embrio bisa mengalami kerusakan fatal—meskipun risiko langsung sangat kecil karena ukurannya masih amat kecil. Jika terkena, biasanya berujung pada keguguran yang tidak disadari.
Memasuki trimester kedua, risiko berubah. Pembentukan sirkulasi darah antara ibu dan janin membuat ukuran uterus bertambah besar—menjadikannya target radiasi yang lebih luas. Paparan pada otot rahim bisa memicu kontraksi dini dan menyebabkan kelahiran prematur.
“Risiko kelahiran dini selalu tinggi, apalagi dalam kondisi ruang angkasa di mana fasilitas medis terbatas,” tutur Holden.
Meski bayi berhasil lahir, tantangan belum selesai. Tanpa gravitasi, perkembangan motorik seperti belajar duduk, merangkak, dan berjalan bisa terganggu karena tidak adanya orientasi atas-bawah yang normal. Refleks postural alami bisa berubah drastis, memengaruhi koordinasi tubuh sejak bayi.
Selain itu, otak bayi tetap tumbuh setelah lahir. Paparan radiasi jangka panjang berpotensi menimbulkan kerusakan permanen pada fungsi kognitif, memori, hingga perilaku.
“Secara teori, bayi bisa lahir di luar angkasa. Tapi hingga kita mampu melindungi embrio dari radiasi dan memastikan mereka tumbuh sehat di mikrogravitasi, kehamilan luar angkasa tetap menjadi eksperimen berisiko tinggi—yang belum siap kita jalankan,” pungkasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar