periskop.id - Di tengah meningkatnya kekhawatiran publik terhadap paparan Bisphenol A (BPA), sebuah riset dari Amerika Serikat dan Kanada mengungkap fakta mencengangkan, di mana kandungan BPA dalam makanan kaleng jauh lebih tinggi dibandingkan galon air minum berbahan polikarbonat (PC). Temuan ini mematahkan anggapan umum yang selama ini lebih menyoroti galon guna ulang sebagai sumber utama paparan BPA.
Dokter Spesialis Gizi Klinik dr. Karin Wiradarma, M.Gizi, Sp.GK, AIFO-K, FINEM, menjelaskan bahwa studi tersebut meneliti berbagai jenis makanan—segar, beku, dan kaleng.
“Mereka menemukan BPA di 73% makanan kaleng. Di makanan segar dan beku sekalipun juga ditemukan BPA sebanyak 7%,” ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip dari Antara, Kamis (14/8). Ia menegaskan bahwa makanan kaleng merupakan sumber utama pajanan BPA pada manusia.
Data dari studi tersebut menunjukkan konsentrasi BPA dalam produk kaleng bisa mencapai 730 nanogram per gram (ng/g) di Amerika Serikat, sementara di Kanada, tuna kaleng mencatat rata-rata 137 ng/g dan puncaknya hingga 534 ng/g.
Sebagai pembanding, migrasi BPA dari galon guna ulang berbahan PC hanya berkisar antara 0.128–0.145 ng/gselisih yang sangat signifikan. Di Indonesia, BPOM telah menetapkan ambang batas BPA dalam kemasan pangan sebesar 0,6 bpj atau 600 mikrogram/kg.
Paparan BPA dari makanan kaleng bukan sekadar teori. Studi dari Harvard School of Public Health pada 2011 menemukan bahwa konsumsi sup kaleng selama lima hari berturut-turut dapat meningkatkan kadar BPA dalam urin peserta hingga 1.000%.
BPA diketahui larut ke dalam makanan saat dipanaskan atau disimpan dalam waktu lama, menjadikan makanan kaleng sebagai jalur utama masuknya BPA ke tubuh manusia.
Ironisnya, narasi publik di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir justru lebih banyak menyasar galon air minum sebagai pelaku utama dalam isu BPA. Padahal, berbagai riset internasional menunjukkan bahwa makanan kaleng menyumbang paparan BPA yang jauh lebih besar dan nyata. Sorotan terhadap galon seolah menutupi ancaman yang lebih besar dari konsumsi makanan kaleng.
Guru Besar Keamanan Pangan dan Gizi dari IPB, Prof. Ahmad Sulaeman, turut menanggapi temuan ini.
“Secara logika, makanan kaleng bisa disimpan dalam waktu yang lama di toko dan tempat penyimpanan sebelum sampai ke rumah konsumen, bahkan masyarakat belum tentu segera mengolah makanan kaleng tetapi disimpan lagi untuk nanti. Artinya kontak antara makanan dan plastik epoksi BPA tadi jadi lebih lama,” tandasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar