Periskop.id - Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menyatakan, besaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Ibu Kota tahun ini hanya mengalami sedikit kenaikan, yakni sekitar 5-10%. Pramono memastikan, kenaikan tersebut justru lebih kecil dibandingkan tarif PBB di sejumlah daerah lain.
“PBB jangan khawatir, Jakarta naiknya kecil sekali. Jadi Jakarta ini, saya sudah mendapatkan laporan, nggak lebih dari 5-10%. Jadi kecil banget lah," katanya Pramono saat ditemui di Jakarta, Kamis (14/8).
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta justru memberikan diskon lima persen dari nilai pokok wajib pajak bagi masyarakat yang membayar lebih awal sebelum jatuh tempo pada 30 September 2025. Pramono menjelaskan, kebijakan ini dibuat demi menjaga transparansi dan memastikan penerimaan pajak berjalan lancar. Sejauh ini, pembayaran PBB di Jakarta cukup tertib.
“Bukan karena apa-apa, karena memang transparansi bagi saya penting sekali. Sehingga untuk Jakarta, persoalan PBB relatif berjalan dengan baik, orang juga membayar dengan tertib,” kata Pramono.
Meski begitu, Pramono mengatakan warga yang memiliki rumah dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp2 miliar tetap dibebaskan dari PBB. Pemilik apartemen dengan harga di bawah Rp650 juta juga mendapat pembebasan pajak serupa.
"Bagi masyarakat yang NJOP-nya di bawah 2 miliar, PBB-nya 0 %. Bagi masyarakat yang menggunakan apartemen yang harganya di bawah Rp650 juta, 0%," kata Pramono.
Menaikkan PAD
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin meminta pemerintah pusat agar harus segera merespons fenomena kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang terjadi di daerah-daerah, agar tak menjadi masalah bagi masyarakat.
Menurut dia, kenaikan pajak PBB-P2 tersebut menjadi fenomena di beberapa daerah yang ditempuh oleh kepala daerah, sebagai upaya untuk menaikkan pendapatan asli daerah (PAD). “Kenaikan PBB-P2 sebagai ikhtiar untuk menaikkan PAD di masing-masing daerah untuk kepentingan belanja di daerah,” kata Khozin di Jakarta, Kamis.
Selain itu, dia mengatakan, kenaikan fantastis angka tarif PBB-P2 di sejumlah daerah juga dipicu oleh penundaan penyesuaian tarif pajak yang terjadi bertahun-tahun di daerah. Akibatnya, kata dia, saat kebijakan tarif dinaikkan, maka mengalami lonjakan yang fantastis.
Di samping itu, menurut dia, kenaikan itu juga dipicu lonjakan nilai jual objek pajak (NJOP) yang didasarkan tim appraisal, yang ternyata tidak sesuai dengan kenyataan alias tidak akurat.
"Jadi pemicunya cukup beragam di tiap-tiap daerah,” kata dia.
Dia juga menyebutkan kenaikan tarif PBB-P2 secara tidak langsung merupakan imbas pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).
Dalam Pasal 41 ayat (2) UU HKPD, menurut dia, mengubah batas maksimum tarif PBB-P2 dari 0,3% menjadi 0,5%, maka pemerintah daerah memiliki ruang lebih besar untuk menaikkan tarif jika dipandang perlu.
Menurut dia, fenomena kenaikan PBB-P2 ini tak terlepas dari beban keuangan daerah. Dia menyebutkan Komisi II DPR dan Menteri Dalam Negeri tengah merumuskan formula untuk menata pengelolaan BUMD di daerah sebagai ikhtiar untuk menguatkan penerimaan keuangan di daerah.
Oleh karena itu, menurut dia, sejak awal tahun ini Komisi II DPR dan Mendagri secara intensif membahas perbaikan tata kelola BUMD di daerah, sebagai ikhtiar untuk memperkuat pendapatan di daerah.
"Opsi yang muncul di antaranya membentuk UU khusus tata kelola BUMD yang dimaksudkan sebagai sumber bagi penerimaan daerah," pungkasnya.
Tinggalkan Komentar
Komentar