periskop.id - Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno, kembali menegaskan komitmennya dalam melestarikan budaya Betawi dengan menggagas pengajaran Bahasa Indonesia dialek Betawi di sekolah-sekolah. Menurutnya, langkah ini penting agar generasi muda lebih memahami akar budaya mereka sendiri. 

“Suatu saat akan kami kembalikan, Bahasa Indonesia dialek Betawi ke sekolah-sekolah yang ada di Jakarta. Untuk apa? Anak-anak bisa paham (dialek Betawi),” ujar Rano dalam seminar “Jakarta Youth International Program (JIYP) Mengenal Jakarta” di Balai Kota Jakarta, Selasa (5/8).

Mengutip Antara, Rano menjelaskan bahwa dialek Betawi memiliki kekayaan linguistik yang menarik untuk dipelajari, termasuk ragam penggunaan huruf vokal. 

“Karena Jakarta ini ada yang E, ada yang O. 'mau ke mane lu, mau ke mana lo,' beda-beda. Jadi, menarik kalau dipelajari,” tuturnya. 

Ia meyakini bahwa keberagaman bahasa yang digunakan sehari-hari merupakan cerminan dari dinamika masyarakat Jakarta yang patut dijaga.

Inspirasi untuk memasukkan dialek Betawi dalam kurikulum sekolah datang dari pengalaman pribadinya saat berkunjung ke Bali. Di sana, ia mendengar pengumuman bandara yang disampaikan dalam beberapa bahasa, termasuk Bahasa Bali. 

“Saya senang kemarin, saya baru pulang dari Bali, kami di bandara, pesawat mau berangkat (pengumuman) pakai Bahasa Inggris, pakai Bahasa Bali, pakai Bahasa Indonesia. Itu kan salah satu usaha untuk menjaga bahasa ibu,” kata Rano.

Upaya memasukkan muatan lokal ini menjadi bagian dari gerakan yang lebih luas untuk menghidupkan kembali budaya khas Jakarta melalui jalur pendidikan. Sebelumnya, ia juga mengusulkan pencak silat sebagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Kedua elemen budaya ini dianggap memiliki nilai penting dalam membentuk karakter anak Jakarta yang berakar pada tradisi.

Rano percaya bahwa budaya lokal tak hanya layak dikenal, tetapi juga perlu diapresiasi secara aktif oleh generasi muda. Dalam pandangannya, anak muda memiliki peran strategis dalam pelestarian dan inovasi budaya. 

“Peran pemuda di sini jelas sebagai pelestari. Kemudian sebagai inovator. Anak muda adalah diplomat budaya. Dia menjadi tokoh di tengah komunitas,” ujar dia.