Periskop.id - Di tengah dinamika kencan modern, kaum hawa menghadapi tantangan tersendiri. Banyak perempuan merasa peran mereka dalam hubungan telah berubah menjadi manajer emosional, bukan sekadar pasangan.
Mulai dari merencanakan kencan, membuka obrolan penting, mendorong pasangan agar lebih bisa menunjukkan perasaan, sampai mengingatkan mereka untuk membalas pesan teman, banyak perempuan merasa lelah karena harus melakukan pekerjaan emosional yang tidak berbalas.
Pertanyaan penting pun muncul, kenapa mencintai laki-laki sering terasa seperti mengurusnya?
Apa Itu Mankeeping?
Dilansir dari NDTV, istilah mankeeping pertama kali digunakan oleh peneliti Stanford, Angelica Ferrara. Istilah ini merujuk pada kerja emosional yang dilakukan perempuan untuk menjaga kesejahteraan sosial dan psikologis laki-laki, tanpa dibayar dan tanpa dianggap sebagai ‘pekerjaan’.
Mankeeping mirip dengan kinkeeping, yaitu peran menjaga hubungan keluarga yang secara tradisional sering dibebankan pada perempuan. Namun, mankeeping dinilai jauh lebih berat. Perempuan bukan hanya harus mengingatkan ulang tahun atau menyatukan keluarga, tetapi juga menjadi tempat curhat utama, mengatur kehidupan sosial pasangan, bahkan mengajari hal-hal dasar seperti bagaimana menghibur seseorang atau kapan harus meminta maaf.
Psikolog asal India, Gunjan Arya, menjelaskan fenomena ini dengan sederhana.
"Mankeeping itu seperti jadi teknisi, HRD, dan life coach bagi pasanganmu, semua sekaligus, dan melakukannya gratis," kata Arya.
Lelah Jadi "Mentor Emosional"
Kelelahan ini bukan sekadar anekdot. Menurut survei Relationship Wellness Institute (2025), 72% perempuan single mengaku lelah harus menjadi mentor emosional bagi laki-laki yang mereka kencani. Angka ini mengindikasikan adanya masalah besar dalam dinamika hubungan heteroseksual kontemporer.
Banyak perempuan akhirnya harus mengajari pasangan cara menunjukkan kasih sayang, cara merespons ketika seseorang sedih, atau bagaimana mengobrol tanpa hanya membicarakan dirinya sendiri. Hal ini memicu pertanyaan yang meresahkan: "Saya ini punya pacar atau sedang membesarkan anak laki-laki dewasa?"
Lingkar Pertemanan Laki-Laki Menciut
Di balik mankeeping, ada tren sosial yang mengkhawatirkan. Laporan Global Mental Health Alliance (2024) mengungkapkan, 45% laki-laki usia 25–40 mengaku tidak memiliki teman laki-laki yang bisa diajak berbagi masalah pribadi.
Dengan menurunnya budaya berbagi di lingkungan pertemanan laki-laki, ruang aman untuk berbagi emosi semakin menciut. Akibatnya, seluruh beban emosi mereka ditumpahkan hanya kepada pasangannya, atau yang lebih buruk, mereka menarik diri dan tidak bicara sama sekali.
Padahal, hubungan yang sehat tidak seharusnya menjadi satu-satunya tempat menampung segala beban emosi. Saat laki-laki kehilangan lingkungan pendukung lain, seluruh beban emosi mereka ditujukan pada pasangannya.
Ketika Kasih Sayang Menjadi Kerja
Ketidakseimbangan beban emosional ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental perempuan. Banyak studi menunjukkan bahwa perempuan yang merasa memberi lebih banyak secara emosional cenderung lebih stres, kurang bahagia, dan lebih rentan mengakhiri hubungan.
"Ketika perhatian hanya berjalan satu arah, itu bukan lagi cinta, itu menjadi kerja. Dan berbeda dengan pekerjaan, tidak ada cuti, tidak ada apresiasi, tidak ada bayaran emosional," ujar Arya.
Masalah ini terasa lebih dominan dalam hubungan heteroseksual karena konstruksi sosial. Sejak kecil, perempuan diajarkan untuk peka, peduli, dan mengurus sekitar. Sebaliknya, laki-laki diajarkan bahwa kerentanan adalah kelemahan. Akibatnya, ketika mereka akhirnya mau membuka diri, mereka bersandar sepenuhnya pada perempuan terdekat.
Isu mankeeping tidak bertujuan menyalahkan laki-laki karena membutuhkan bantuan. Persoalan utamanya adalah ketika keseluruhan beban pertumbuhan emosional diletakkan sepenuhnya di pundak perempuan.
Penyelesaian mankeeping membutuhkan lebih dari satu obrolan mendalam. Ini selesai ketika laki-laki mulai mengambil tanggung jawab atas pertumbuhan emosional mereka sendiri, misalnya dengan memperkuat pertemanan, pergi terapi, atau membaca buku tentang hubungan, bukan hanya mengandalkan pasangannya untuk menjelaskan semuanya.
Saat ini, banyak perempuan mulai menetapkan batasan. Mereka menyadari bahwa menjadi suportif itu baik, tetapi menjadi ‘korban emosional’ itu tidak sehat. Karena pada akhirnya, cinta yang sehat adalah hubungan dua arah, bukan pekerjaan manajemen yang hanya dilakukan oleh satu orang.
Tinggalkan Komentar
Komentar