periskop.id - Teknologi kendaraan ramah lingkungan terus berkembang seiring meningkatnya kebutuhan energi bersih. Salah satu inovasi yang kini banyak dibicarakan adalah Flex Fuel Vehicle (FFV), yaitu kendaraan yang mampu menggunakan berbagai campuran bahan bakar, mulai dari bensin murni hingga campuran etanol tinggi seperti E85.
E85 sendiri adalah bahan bakar campuran yang terdiri dari sekitar 85% etanol dan 15% bensin. Kandungan etanol yang tinggi membuatnya lebih ramah lingkungan karena berasal dari biomassa seperti tebu, jagung, atau singkong.
Di Amerika Serikat, E85 sudah tersedia luas di lebih dari 4.000 stasiun pengisian bahan bakar, terutama di wilayah Midwest yang menjadi pusat produksi jagung.
Konsep FFV memungkinkan mesin kendaraan menyesuaikan diri dengan kadar etanol yang berbeda. Sensor khusus mendeteksi komposisi bahan bakar, lalu sistem injeksi dan ECU (engine control unit) mengatur rasio udara-bahan bakar agar pembakaran tetap optimal. Dengan teknologi ini, pengemudi tidak perlu khawatir apakah mobil diisi bensin biasa, E10, atau bahkan E85.
Secara global, FFV sudah dipasarkan sejak awal 2000-an. Di Amerika Serikat, model populer seperti Ford F-150 Flex Fuel, Chevrolet Silverado FFV, dan Chrysler Sebring FFV menjadi pilihan konsumen.
Brasil bahkan lebih maju, dengan hampir semua mobil baru sejak 2003 dilengkapi teknologi flex fuel. Model seperti Volkswagen Gol Flex, Fiat Uno Flex, dan Chevrolet Onix Flex mendominasi pasar karena kompatibel dengan bensin maupun etanol murni (E100).
Eropa juga sempat mengembangkan pasar FFV, meski tidak sebesar Amerika dan Brasil. Produsen seperti Saab dengan model 9-3 BioPower, Volvo S40/V50 Flexifuel, serta Peugeot 307 Flex Fuel pernah dipasarkan di Swedia dan Prancis. Namun, tren di Eropa kini lebih condong ke elektrifikasi penuh, sehingga FFV tidak lagi menjadi fokus utama.
Di Indonesia, teknologi ini mulai diperkenalkan melalui uji coba. Toyota menjadi salah satu pionir dengan menghadirkan Kijang Innova Zenix Hybrid Flexy Fuel yang diuji menggunakan bioetanol E100 berbasis sorgum.
Selain itu, model seperti Toyota Avanza, Agya, dan Calya juga telah diuji coba dengan campuran E10 bersama Pertamina. Hasilnya dinilai positif, menunjukkan bahwa kendaraan standar pun bisa beradaptasi dengan bahan bakar etanol tanpa modifikasi besar.
Menurut data Toyota Astra Motor, uji coba flex fuel di Indonesia sudah melibatkan lebih dari 48 kendaraan dengan jarak tempuh total 400.000 kilometer.
Hasilnya menunjukkan performa mesin tetap stabil, emisi lebih rendah, dan konsumsi bahan bakar tidak jauh berbeda dengan bensin murni. Hal ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengurangi impor BBM sekaligus mendukung petani lokal sebagai pemasok bahan baku bioetanol.
Meski begitu, adopsi FFV di Indonesia masih menghadapi tantangan. Infrastruktur distribusi E85 belum tersedia, sementara produksi bioetanol nasional masih terbatas.
Saat ini, Pertamina baru meluncurkan Pertamax Green 95 dengan campuran etanol 5% (E5). Target jangka menengah adalah penerapan E10 secara nasional, sebelum menuju campuran yang lebih tinggi.
Dari sisi lingkungan, penggunaan E85 terbukti mampu menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 20% dibandingkan bensin biasa. Namun, kandungan energi etanol lebih rendah sekitar 30% dibanding bensin, sehingga konsumsi bahan bakar bisa sedikit lebih boros. Meski demikian, harga etanol yang lebih murah di negara produsen membuat biaya operasional tetap kompetitif.
Brasil menjadi contoh sukses penerapan FFV. Dengan dukungan kebijakan pemerintah, insentif pajak, dan infrastruktur SPBU yang memadai, lebih dari 80% mobil baru di negara tersebut kini berteknologi flex fuel.
Konsumen bebas memilih apakah akan mengisi bensin, etanol, atau campuran keduanya, tergantung harga pasar.
Di Amerika Serikat, FFV juga menjadi bagian dari strategi energi nasional. Program Renewable Fuel Standard (RFS) mewajibkan penggunaan biofuel dalam jumlah tertentu setiap tahun. Hingga kini, lebih dari 20 juta kendaraan FFV beroperasi di jalan raya AS, menjadikannya pasar terbesar kedua setelah Brasil.
Bagi Indonesia, teknologi FFV bisa menjadi jembatan menuju transisi energi bersih. Dengan potensi besar produksi tebu, singkong, dan sorgum, bioetanol dapat menjadi sumber energi terbarukan yang mendukung kemandirian energi nasional.
Jika infrastruktur dan regulasi diperkuat, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengikuti jejak Brasil dalam menjadikan FFV sebagai standar kendaraan masa depan.
Tinggalkan Komentar
Komentar