Periskop.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memfokuskan strategi fiskal pada percepatan realisasi belanja kementerian/lembaga (K/L) dan peluncuran stimulus besar-besaran di sisa waktu kurang dari tiga bulan tahun 2025. Langkah ini diambil untuk membalikkan tantangan ekonomi yang dihadapi pada kuartal sebelumnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi kuartal keempat (Q4) hingga mencapai 5,5 persen.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Febrio Kacaribu menyebut kondisi saat ini membutuhkan intervensi cepat, terutama dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

"Untuk 2025, kita lihat kondisi yang kita sedang hadapi sekarang, kita (Kementerian Keuangan) akan banyak fokus di percepatan realisasi belanja ke K/L. Karena kita melihat ini sisa kurang dari 3 bulan ini," kata Febrio Kacaribu saat sesi pembukaan Media Gathering APBN 2026 di Gedung Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (9/10).

Febrio memproyeksikan Kuartal III (Q3) akan tetap menghadapi tantangan, meskipun telah ada negosiasi yang berhasil mencapai 19% dan PMI (Purchasing Managers Index) yang tetap ekspansif, menunjukkan respons positif dari dunia usaha. Untuk itu, fokus diarahkan ke Q4 dengan dua strategi utama: stimulus dan efektivitas penempatan dana.

Kemenkeu telah menyiapkan insentif khusus berupa bantuan untuk masyarakat miskin yang diharapkan dapat memperbaiki daya beli secara signifikan.

"Salah satu yang sudah disiapkan yang kemarin sempat diumumkan oleh Pak Menko, setelah rapor, kalau nggak salah minggu lalu ya, itu sudah kita finalisasi, udah dapat arahan dari Pak Presiden, kita sudah finalisasi, akan ada insentif khususnya bantuan untuk masyarakat miskin yang dapat memperbaiki daya beli. Sehingga nanti kita harapkan di kuartal ke-4 ini dapatnya akan cukup terasa," ungkap Febrio.

Strategi kedua adalah efektivitas pemindahan cash pemerintah dari Bank Indonesia (BI) sebesar Rp200 triliun ke perbankan. Menurut Febrio, kebijakan ini telah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.

"Ini sudah cukup mengembirakan realisasinya, karena yang terjadi adalah bukan hanya kita tambah si perbankannya mendapatkan tambahan likuiditas dari pemindahan cash tersebut sebesar Rp200 triliun, tetapi juga ini dana yang lebih murah dibandingkan cost of fund-nya mereka," jelasnya.

Dana ini diberikan dengan bunga setara 80% dari suku bunga kebijakan BI, yang dengan perhitungan terakhir menjadi sekitar 3,8%. Persentase bunga ini jauh lebih murah dibandingkan biaya pendanaan perbankan pada umumnya.

Febrio memaparkan data penyerapan dana tersebut di lima anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yakni di antaranya:

  • Bank Mandiri: 74%
  • BRI: 62%
  • BNI: 50%
  • BSI: 55%
  • BTN: 19%

Febrio menambahkan, sejumlah bank yang sebelumnya sempat ragu terhadap penugasan penempatan dana pemerintah, kini justru berminat menambah alokasi penempatan dana tersebut.

“Teman-teman ingat gak, respon perbankannya, ‘Kami jangan dipaksa’, ya kan, ragu. Ternyata setelah dikasih, aduh, sekarang malah minta tambah” jelasnya.

Ia mengungkapkan, perkembangan positif ini juga mendorong minat dari sejumlah bank lain, terutama Bank Pembangunan Daerah (BPD), untuk mendapatkan skema penempatan dana serupa.

“Terus BPD, juga pengen, makanya kemarin Bank Jatim, Bank Jakarta, juga minta. Ini kan bagus ini banget, Teman-teman itu pengen untuk menyalurkan (dana pemerintah) karena murah,” ungkap Febrio.

Dia berharap dampak dari penempatan likuiditas murah ini dapat mendorong pertumbuhan kredit, yang di bulan Agustus masih 7%, menjadi 10% di akhir tahun.

"Sehingga itu akan cukup riil nanti di kredit modal kerja, kredit konsumsi, kredit investasi, dan sebagian akan langsung berdampak pada performance dari PDB kita di Q4. Itu yang kita harapkan sehingga kalau hitung-hitungan kami Q4 itu bisa akan mencapai sekitar pertumbuhannya 5.5%," tutur Febrio.