periskop.id - Pernah merasa kalau punya rumah di kota besar itu cuma mimpi? Ternyata, banyak gen Z di Indonesia yang merasakannya. Dalam beberapa tahun terakhir, harga properti terus melambung, sementara gaji pekerja muda nyaris tak bergerak. Kombinasi ini menciptakan jurang lebar antara impian dan kenyataan.

Menurut Bank Indonesia (BI) lewat Survei Harga Properti Residensial (SHPR), harga rumah di pasar primer naik 1,46% pada kuartal III 2024 dan tetap tumbuh 1,39% di kuartal IV. Sekilas terlihat kecil, tetapi coba lihat di Jakarta atau Surabaya, kenaikannya bisa jauh lebih tinggi.

Bandingkan dengan data BPS (2025) yang mencatat rata-rata gaji pekerja hanya Rp3,09 juta per bulan. Untuk usia 25–29 tahun, bahkan hanya Rp2,6 juta. Dengan penghasilan serendah itu, menabung untuk uang muka rumah terasa mustahil, apalagi mencicil Kredit Pemilikan Rumah (KPR) 20 tahun ke depan.

Kesenjangan yang Kian Melebar

Masalahnya bukan sekadar harga yang naik, tetapi laju kenaikannya yang jauh lebih cepat daripada pendapatan. Survei Jakarta Property Institute (JPI) menunjukkan rasio harga rumah terhadap pendapatan di Jakarta mencapai 10,3 kali lipat. Angka tersebut jauh di atas Kuala Lumpur (4) dan Singapura (4,8). Artinya, rata-rata harga rumah di Jakarta sekitar sepuluh kali lipat lebih tinggi dibandingkan pendapatan masyarakatnya. 

Kondisi ini membuat gen Z mulai kehilangan kepercayaan diri. Riset Inventure (2025) mengungkap 65% gen Z merasa tak yakin bisa membeli rumah dalam tiga tahun ke depan. Sebanyak 80% menganggap harga rumah terlalu tinggi, 45% merasa penghasilannya belum cukup, dan 34% khawatir karena pekerjaan masih belum stabil.

Namun menariknya, minat gen Z untuk punya rumah tetap tinggi. Survei 99 Group Indonesia mencatat 64,4% dari mereka ingin memiliki rumah sendiri. Jadi sebenarnya bukan tidak mau, mereka hanya belum mampu.

Antara Menyewa dan Membangun Pelan-Pelan

Karena kondisi ekonomi belum mendukung, banyak gen Z memilih jalan tengah. Survei Inventure (2024) menunjukkan 38% gen Z memilih skema rent-to-own, alias sewa dengan opsi beli. Skema ini dianggap fleksibel karena mereka bisa menempati rumah sambil menabung untuk membelinya nanti.

Sementara itu, 34% lainnya memilih tetap menyewa tanpa komitmen karena karier yang masih labil. Hanya 14% yang berani mengambil KPR bank, sementara 8% membangun rumah sendiri secara bertahap, dan 6% memilih pindah ke luar kota demi harga lebih terjangkau.

Fenomena ini menggambarkan bahwa bagi banyak anak muda, rumah bukan sekadar tempat tinggal, tetapi simbol kemandirian. Sayangnya, simbol itu kini makin sulit diwujudkan.

Belajar dari Berlin: Ketika Generasi Muda Melawan

Krisis hunian bukan cuma terjadi di Indonesia. Berlin, Jerman, pernah mengalami hal serupa. Harga sewa dan jual rumah naik drastis hingga anak muda sulit menyewa, apalagi membeli. Pada 26 September 2021 terjadi referendum untuk memaksa pemerintah mengambil alih 240.000 unit apartemen dari perusahaan besar seperti Deutsche Wohnen dan Vonovia.

Hasilnya mengejutkan, sekitar 57% pemilih mendukung langkah ini. Ini menjadi bukti bahwa persoalan perumahan bukan sekadar soal pasar, tetapi keadilan sosial. Sebuah peringatan bahwa jika akses hunian terus tertutup, keresahan bisa tumbuh menjadi gerakan besar.

Upaya Pemerintah: Sudah Tepat Sasaran?

Di Indonesia, pemerintah berusaha lewat program rumah subsidi seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Hingga Juli 2025, sudah ada 129.773 unit rumah subsidi terealisasi, angka tersebut naik hampir 51% dibanding tahun sebelumnya.

Sayangnya, program ini belum sepenuhnya menjangkau kelas menengah muda di perkotaan, kelompok yang terlalu “kaya” untuk subsidi, tetapi belum cukup mapan untuk membeli rumah komersial. Di sinilah celah besar yang perlu dijembatani.

Menurut laporan Bank Dunia (2019), sejak 2000, sekitar 10% kelas menengah di Indonesia kembali jatuh ke kelompok miskin, dan 40% turun menjadi calon kelas menengah. Artinya, separuhnya masih berjuang agar tidak tergelincir secara ekonomi. Ini menjadi alarm penting bahwa sektor perumahan perlu kebijakan yang lebih inklusif.

Saatnya Inovasi Finansial untuk Hunian Terjangkau

Terdapat tiga langkah kebijakan finansial yang bisa dipertimbangkan. Pertama, menurunkan suku bunga KPR yang saat ini rata-rata 9,38%, tertinggi di Asia Tenggara. Bandingkan dengan Thailand 5,82%, Malaysia 4,28%, dan Singapura 2,93%. Kedua, memperpanjang tenor pinjaman hingga 25 tahun agar cicilan bulanan lebih ringan. Contohnya di Singapura, semua unit rumah susun HDB sudah menerapkan tenor 25 tahun sebagai standar pemerintah.

Ketiga, membuka opsi penggunaan saldo BPJS Ketenagakerjaan sebagai uang muka pembelian rumah, terinspirasi dari sistem Central Provident Fund (CPF) di Singapura. Dengan cara ini, calon pembeli bisa meringankan beban DP yang kini hanya disubsidi maksimal Rp4 juta angka yang jelas belum cukup bagi kelas menengah bawah.

Antara Harapan dan Tindakan Nyata

Generasi Z Indonesia bukan tidak ingin punya rumah, mereka hanya butuh sistem yang lebih berpihak. Harga properti yang melambung tinggi di tengah stagnasi gaji bukan sekadar angka, tetapi realitas yang memengaruhi rasa aman dan masa depan mereka.

Dengan dukungan kebijakan yang lebih fleksibel, sistem pembiayaan yang inovatif, dan keberpihakan pada kelas menengah muda, bukan tidak mungkin mimpi memiliki rumah sendiri kembali terasa nyata.